Tulisan yang diilhami oleh diskusi yang pernah kami lakukan. Siapa kami? Sok, baca aja, hehe. Tulisan ini pernah dimuat di website Himpunan Mahasiswa Sosiologi Universitas Airlangga. Namun, sayangnya, saya lupa dengan alamat website tersebut karena website tersebut tidak pernah diperbaharui lagi semenjak kurang-lebih tahun 2013.
27.04.2013
Tulisan ini lebih merupakan suatu narasi dari perihal yang telah didiskusikan oleh penulis serta rekan-rekan. Oleh karenanya, lebih tepat kiranya jika diberikan judul “Risalah”. Terima kasih atas diskusi interaktif yang telah dilakukan oleh Fatih Kawakibi, Dwiyan Agusta, Aditya Candra, Andre Bagus serta penulis, hingga terciptanya suatu risalah yang kiranya dapat membuka pemikiran.
Tema yang didiskusikan mengenai dunia pendidikan. Suatu tema yang selalu menarik untuk didiskusikan.
Pendidikan sendiri secara harfiah dalam kamus besar bahasa Indonesia adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan; proses, cara, perbuatan mendidik.
Pendidikan memiliki dasar kata didik. Berdasarkan kamus besar bahasa Indonesia, didik adalah memelihara dan memberi latihan (ajaran, tuntunan, pimpinan) mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran.
Dari arti secara harfiah, pendidikan dapat diartikan sebagai proses pembentukan kecerdasan individu, yang termasuk di dalamnya adalah jiwa kritis individu.
Tokoh sosiologi pendidikan yang termasuk dalam perspektif kritis, Paulo Freire, dalam bukunya yang berjudul Pendidikan Kaum Tertindas, memetakan tata cara pendidikan. Menurutnya, ada dua tata cara pendidikan.
Pertama adalah pendidikan gaya bank. Pendidikan gaya bank merupakan tata cara pendidikan dimana murid dianalogikan sebagai tempat tabungan, sedangkan guru adalah penabung. Guru memberikan pembelajaran kepada murid, yang dimana murid dianggap sebagai obyek. Dari hal tersebut, maka murid tidak dapat mengekspresikan interpretasinya. Murid hanya terbatas sebagai penerima pendidikan.
Sedangkan tipe yang kedua adalah pendidikan hadap masalah. Freire lebih memperjuangkan tata cara pendidikan ini. Dalam pendidikan hadap masalah, guru tidak hanya sebagai pengajar, begitu pula peran murid tidak hanya sebagai penerima pelajaran. Namun dalam tipe pendidikan hadap masalah, guru dapat sebagai pengajar juga penerima pelajaran, sebagaimana murid juga berperan sebagai pengajar juga penerima pelajaran. Murid tidak dianggap sebagai obyek, namun subyek. Dengan demikian, guru dapat menerima pelajaran dari muridnya, tidak melulu guru sebagai pemberi pelajaran. Oleh karenanya, murid dapat memberikan interpretasinya, yang dimana hal ini akan membangkitkan kecerdasan murid. Lebih lanjut, menurut Freire tata cara pendidikan ini akan membangkitkan jiwa kritis murid.
Dalam pendidikan gaya bank, Freire menyatakan akan menimbulkan suatu ketergantungan murid terhadap guru. Ketergantungan ini merupakan imbas dari pasifitas murid dalam pembelajaran. Hal ini dalam jangka panjang, akan menjadikan individu memiliki sifat pasif serta ketergantungan individu terhadap individu lain yang dianggapnya pintar. Kelanjutan dari hal tersebut, individu akan secara perlahan dan pasti akan tidak memiliki sikap kritis dan pro-aktif dalam kehidupan. Individu pada akhirnya mudah untuk dimasuki slogan-slogan, ideologi, dsb para penindas. Hal tersebut selanjutnya disebut Freire sebagai dehumanisasi.
Sedangkan dalam pendidikan hadap masalah, individu dipacu untuk melihat dunia sosial secara kritis. Darinya, akan tercipta individu yang kritis serta pro-aktif dalam kehidupan. Secara otomatis, individu akan memiliki kekebalan terhadap slogan, ideologi dsb dari para penindas. Inilah yang disebut oleh Freire sebagai humanisasi.
Mengacu kepada arti harfiah pendidikan berdasarkan kamus besar bahasa Indonesia, pendidikan lebih cocok dengan konsep pendidikan hadap masalah oleh Freire, yang dimana pendidikan tersebut bertujuan untuk mengedepankan humanisasi. Tidak lebih condong kepada pendidikan gaya bank, yang berakhir pada dehumanisasi.
Kembali merefleksikan pendidikan di Indonsia. Pendidikan lebih cenderung kepada konsep gaya bank. Pendidikan di Indonesia jauh dari konsep Freire mengenai pendidikan hadap masalah. Hal ini dibuktikan dengan minimnya interaksi dalam proses pendidikan. Murid mulai dari usia dini dibiasakan dengan ‘menghafal pelajaran’, bukannya ‘memahami pelajaran’. Dapat dilihat dari soal-soal yang diujikan, yang didasarkan kepada pelajaran yang telah diberikan kepada muridnya. Soal-soal tersebut membutuhkan ‘daya hafal’ dari muridnya, agar dapat menyelesaikan ujian dengan baik. Jarang ditemui soal-soal yang merefleksikan bahwa murid memahami pelajaran, semisal refleksi atas permasalahan.
Jarang juga ditemui adanya pendalaman materi yang diajarkan. Murid hanya terbatas pada ‘menerima dan menghafal’, tidak kepada ‘menerima dan mengkaji’. Mengacu kepada arti harfiah pendidikan dalam kamus besar bahasa Indonesia, pendidikan seyogyanya melatih kecerdasan peserta didik. Bukan hanya terlokalisir pada menghafal, namun juga dibutuhkan kritisasi terhadap pelajaran yang diberikan. Hal yang terakhir disebutkan kiranya akan mengantarkan murid kepada individu yang kritis; humanisasi.
Hal ini memiliki relevansi terhadap kebijakan negara mengenai standarisasi pendidikan. Terkesan pendidikan merupakan jalan yang harus ditempuh dengan cepat. Darinya, dapat diartikan bahwa semakin kecilnya ruang bagi murid untuk mengkritisi pelajaran yang diberikan.
Kebijakan semacam itu salah satunya tercermin pada kurikulum, yang dimana kurikulum merupakan dasar dari diadakannya proses pendidikan. Namun perlu mengingat kepada pendapat Freire, bahwasanya kurikulum tidak lepas dari kepentingan para penguasa. Oleh karenanya, Freire lebih setuju dengan kurikulum yang memiliki arti ‘dari murid, oleh murid, untuk murid’. Dengan demikian, murid dapat bebas berekspresi, tanpa ada sifat ‘paksaan pembelajaran’ kepadanya.
Hal yang diuraikan di atas didukung oleh pendapat Ivan Illich. Seorang tokoh yang juga berada dalam perspektif kritis. Illich dengan pendapatnya yang sangat kritis menyatakan bahwa pendidikan adalah ranah yang memaksa serta mengekang bagi individu. Individu tidak dapat berekspresi dengan leluasa. Hal ini disebabkan oleh kurikulum yang dirumuskan tidak oleh murid, namun dipaksakan kepada murid. Dan juga, pendidikan bertujuan untuk mendapatkan pekerjaan, bukannya untuk mencerdaskan murid. Oleh karenanya, Illich menyatakan sebagaimana merupakan judul bukunya ‘Bebas dari Sekolah’. Illich menyerukan butuhnya pembangunan ranah pendidikan yang sama sekali berbeda dengan sistem pendidikan yang telah disebutkan di atas.
Mengkaji kepada pendapat Illich mengenai pendidikan sebagai kendaraan untuk mencapai pekerjaan, memang, pendidikan serta pekerjaan merupakan dua hal yang berbeda. Namun, hal tersebut nampaknya sudah menjadi kesadaran umum bahwasanya dua hal tersebut memiliki keterkaitan. Pendidikan menurut kesadaran umum merupakan kualifikasi utama dari dunia kerja. Individu diminta serta dituntut menjalani pendidikan agar dapat mendapatkan pekerjaan yang mengantarkannya kepada kemakmuran. Hal tersebut pada akhirnya menyebabkan pendidikan sebagai ‘keharusan’, bukanlah suatu hal yang bersifat ‘kesadaran’.
Dapat nampak dari penjelasan secara harfiah dari kata pendidikan, bahwa pendidikan berjuang untuk menciptakan (berdasarkan konsep Freire) humanisasi. Sedangkan kerja, salah satu arti secara harfiah dari kamus besar bahasa Indonesia adalah usaha untuk mencari nafkah. Dapat disimpulkan bahwa nafkah berorientasi terhadap materi. Sedangkan pendidikan, berorientasi terhadap usaha meng-humanisasi individu.
Dengan demikian, apakah pendidikan sudah konsekuen dengan artinya?
Dalam hal relevansi antara pekerjaan dan pendidikan, masih relevankah kualifikasi pekerjaan dengan menggunakan kriteria pendidikan?
***
0 Comment:
Post a Comment