Tulisan ini juga tersedia di Academia
Dialog dengan masyarakat desa membuahkan refleksi bahwa mereka memiliki orientasi yang berjangka pendek, secara khusus adalah mereka hanya ingin terus-menerus memenuhi kebutuhan ekonominya. Mereka menolak menjalani proses untuk menanam investasi dalam dirinya, yaitu melalui pendidikan. Menurut literatur, secara teoritis, hal tersebut dikarenakan mereka merupakan: (1) kelas pekerja yang memiliki orientasi fungsional, dan (2) mayoritas pekerja petani yang memiliki pola pemikiran “safety first”. Namun, kondisi tersebut bukanlah kondisi final yang niscaya tidak dapat dirubah. Merujuk pada Freire, hadirnya dialog mampu merubah orientasi mereka.
Anda, para pembaca, mungkin dan sudah pasti pernah berkunjung ke desa, tempat masyarakat yang mayoritasnya bekerja sebagai petani, peternak, maupun nelayan, yang pada intinya mengusahakan dirinya agar mampu memenuhi kebutuhannya secara mandiri/subsisten. Mereka, para masyarakat desa, merupakan individu yang bekerja dalam rangka subsisten, yaitu: bekerja agar mampu memenuhi kebutuhannya sendiri. Jadi, hasil pekerjaan mereka digunakan oleh mereka sendiri, tidak dijual, hanya terdapat dua kemungkinan: menggunakannya sendiri atau diberikan kepada kerabatnya. Ya, subsisten merupakan sifat manusia tradisonal, sebelum apa yang disebut sebagai produksi massal dikenal oleh masyarakat luas.
Anda, mungkin, pernah berinteraksi dengan masyarakat desa terkait berbagai hal, misalnya membicarakan tentang: pertanian, pemilihan kepala desa, atau hanya bersifat basa-basi. Namun, apakah Anda pernah membicarakan tentang orientasi masyarakat desa terkait pendidikan?
Saya pernah terlibat dalam program pemberdayaan masyarakat di salah satu daerah di Tuban, Jawa Timur. Pada saat itu, saya menjadi pembicara saat mendiskusikan tentang permasalahan yang ada di desa. Diskusi telah berjalan, dan tiba pada pembahasan tentang pendidikan. Saya bertanya kepada peserta diskusi yang telah hadir, “Bapak dan Ibu, apa ada permasalahan tentang pendidikan di desa ini?” Mereka terdiam, mungkin pertanyaan saya terlalu abstrak. Saya kembali bertanya, “apa rata-rata pendidikan di desa ini, SD, SMP, SMA, atau bagaimana?” Salah satu peserta diskusi kemudian menjawab, “rata-rata SD Mas, 80% masyarakat putus sekolah saat SD.” Terang saja saya meneruskan pertanyaan di kepala saya ke kerongkongan saya yang kemudian menjadi suara dalam diskusi tersebut, “oh begitu ya, Pak. Mengapa bisa seperti itu? Biaya, atau apa?, karena saya lihat sekolah di sini juga tidak terlalu jauh, jadi aksesnya tidak terlalu susah.” Ia menghela nafas, lalu menjawab manifestasi rasa penasaran saya, “ya, masalah biaya mungkin juga bisa menjadi alasan mengapa pendidikan di sini rendah, karena Mas tahu sendiri kan, pemerintah bilangnya gratis, tapi pelaksanaannya tidak luput dari tambahan biaya dengan segala macam alasan. Namun, hal yang paling mendasar, warga sini melihatnya gini Mas, ‘buat apa pendidikan tinggi kalau gak punya uang.’ Jadi, misalnya, Ibu (menunjuk pakar pemberdayaan masyarakat yang saat itu berada dengan saya) gelarnya S2, sementara saya SMP, tapi uang saya 1M, sementara Ibu cuma punya 500juta, mereka tetap memandang saya lebih sukses. Singkatnya, mereka melihat materinya, bukan pendidikannya. Itulah rendahnya kesadaran masyarakat tentang pendidikan.” Saya terdiam sementara wajah samar-samar Freire mengisi kepala saya tentang pendidikan kaum tertindas: tujuannya dan caranya. Namun, mana mungkin saya membahasnya di diskusi ini, bisa-bisa saya menjadi bulan-bulanan karena saya membahasnya dengan terlalu serius. Selain itu, Freire tidak melihat hubungan antara pendidikan dan kebutuhan pasar kerja, sebagaimana bahasa gaulnya sekarang adalah vokasionalisasi pendidikan. Freire berpendapat bahwa pendidikan merupakan usaha untuk membebaskan pikiran, bukan untuk bekerja. Bekerja, menurut Freire, dengan sendirinya akan dapat dijawab melalui pendidikan dengan cara memiliki pemahaman tentang dunia, dengan kata lain kreatifitas. Oleh karena itu, mungkin, pembahasan tentang pandangan Freire akan pendidikan kurang diminati oleh peserta diskusi, sebagaimana penarikan kesimpulan secara singkat memandang bahwa mereka menitikberatkan pada materi. Untungnya, Ibu pakar pemberdayaan membantu saya dengan membalas pernyataan itu dengan intermezzo.
Diskusi berlanjut dengan pembahasan mengenai rencana pemberdayaan masyarakat. Kami mengutarakan bahwa terdapat beberapa proses yang harus ditempuh agar masyarakat memiliki kemampuan dalam rangka mencapai keberdayaan masyarakat, yaitu: mampu memenuhi kebutuhannya secara mandiri tanpa perlu menggantungkan dirinya melalui bantuan orang lain. Tahapan tersebut antara lain: sosialisasi (memberi pengetahuan tentang program yang akan dijalankan), pelatihan, pendampingan, dan realisasi program sebagai proses akhirnya, yang tentu tetap didampingi. Seseorang yang berada tepat di tengah forum lalu mengajukan pemikirannya sembari mengeluarkan asap sebagai hasil dari menyedot rokoknya yang dipegang di tangan kanannya, “saya rasa sudah banyak pelatihan yang diberikan kepada kami. Oleh karena itu, kenapa tidak langsung ke realisasi saja?” Kamipun balik bertanya, “kenapa pelatihan itu tidak segera direalisasikan, Pak?” Ia menjawabnya setelah, lagi, mengisap gumpalan tembakau dan cengkeh, “ya kami tidak punya dana. Makanya, kalau bisa, beri kami bantuan dana dan alat yang kami butuhkan.” Sungguh, kami kewalahan untuk menjawabnya. Mereka hanya memikirkan bagaimana caranya memperoleh uang dengan cara sesingkat mungkin, tanpa perlu pusing-pusing membuang waktunya mengikuti proses pembentukan pengetahuan mereka. Intermezzo kembali kami usahakan, dan diskusi berlanjut dengan pembahasan teknis tentang permasalahan yang ada di desa. Kami beranjak dari desa tersebut kurang lebih setelah sekitar dua jam berdiskusi dengan masyarakat desa yang memiliki petilasan di bukit di sebelah kantor desanya.
Pernyataan orang tersebut telah sukses menghantui pikiran saya saat diskusi tersebut berakhir yang kemudian terus menerus mengisi pikiran saya selama kurang lebih dua minggu sampai pikiran saya menjadi rangkaian kalimat ini. Mungkin, saya sudah tahu betapa pentingnya pendidikan bagi masyarakat, terlepas dari pro-kontra pendidikan di Indonesia dewasa ini yang, apabila dibahas di sini, tidak memiliki kesesuaian dengan judul di awal tulisan ini. Bayangan pikiran Freire tentang pendidikan, sebagaimana saya singgung di atas, mungkin, merupakan jawaban terbaik atas pertanyaan tersebut. Pendidikan merupakan usaha untuk menyadarkan masyarakat akan kondisi riil berdasarkan waktu ia berada; menamai benda dan mengenal benda berdasarkan keinginannya sendiri, bukan paksaan dari pihak lain.
Sesungguhnya, kita akan mengetahui lebih luas apabila kita mengabstraksikan pernyataan mereka tentang pendidikan dan permintaan bantuan instan. Kita akan memahami bahwa mereka memiliki orientasi jangka pendek, bukan jangka panjang. Mereka akan suka dengan pendidikan apabila mereka memiliki orientasi jangka panjang karena pendidikan merupakan bentuk investasi diri: menggali kemampuan diri untuk mendefinisikan dunia—atau mungkin malah meredefinisikannya?—juga memahami dunia sehingga kita tidak terjebak dalam perangkap yang telah disiapkan oleh siapapun itu. Singkatnya, kata pengantar dalam buku Asal-Usul Kedaulatan: Telusur Psikogenealogis atas Hasrat Mikrofasis Bernegara milik Hizkia Yosie Polimpung yang menjadi hadiah dari master Yogi kepada saya memudahkan pemikiran saya. Yosie, panggilan penulis itu, menuliskan, “sama seperti kita harus mempelajari fitur-fitur obyektif ponsel kita untuk mengoptimalkan penggunaannya.” (Polimpung, 2014, viii) Ya, kalimat itu benar-benar menginspirasi saya, lebih luas daripada hanya menggunakannya dalam permasalahan ini.
Saya merasa seperti Winston Smith, tokoh fiksi dalam novel termahsyur milik George Orwell dengan judul 1984. Tokoh tersebut mengerti “bagaimana” negara fiksi dalam novel tersebut melancarkan keotoriterannya, tetapi tidak memahami “mengapa” negara tersebut otoriter (Orwell, 2014, 268). Saya merasa, mungkin, mengerti “bagaimana” melalui pendidikan masyarakat dapat memerdekakan pemikirannya, tetapi saya tidak memahami “mengapa” mereka (masyarakat desa) tidak begitu memiliki orientasi yang jauh ke depan.
Saya mulai bertanya kepada teman-teman saya. Pertanyaan yang saya ajukan sederhana, tidak terlalu bernuansa serius, karena terlalu serius juga kurang baik untuk tempo kehidupan. Saya bertanya, “kenapa ya, orientasi orang desa kok uang aja?” Mereka dengan santainya menjawab pertanyaan saya, sebagaimana hal tersebut merupakan efek positif dari “tidak terlalu membangun nuansa serius.” Jawaban mereka beragam, syukurlah, sesuai harapan saya. Ada yang menjawab, memang kebutuhan dasar masyarakat desa secara khusus dan masyarakat luas secara umum adalah uang. Ada juga yang menjawab, hal tersebut merupakan pengaruh dari budaya luar desa oleh televisi sebagai mediumnya. Menurutnya, televisi telah menyebarkan pop culture yang kental akan budaya konsumtif. Ada juga yang menjawab bahwa hal tersebut merupakan budaya masyarakat desa sebagai efek dari etika subsisten mereka: masyarakat desa terbiasa dengan menggantungkan dirinya kepada alam untuk memenuhi kebutuhannya. Ada juga yang mengafirmasi pola pikir masyarakat desa yang menjadi bahan dasar pertanyaan saya. Ia menyatakan, “memang kayak gitu masyarakat desa. Aku pernah ngopi dengan masyarakat desa di desaku. Mereka kurang menghargai pendidikan, kurang menghargai gelar sarjana sebagai proses pembebasan pemikiran, bukannya gelar sebagai pokoke sarjana dan prestise lho, ya. Mereka lebih mementingkan pendapatannya.” Ya, pendapat yang beragam. Satu hal yang bisa saya tarik: orientasi masyarakat desa bersifat pendek, tidak panjang. Mereka menekankan pentingnya hasil secara pendek, tidak terlalu memikirkan dengan pusing proses investasi manusia melalui pendidikan sebagai usaha untuk membebaskan pikiran dari paham-paham maupun slogan yang bernuansa sempit.
Jawaban dari kerabat saya menjadi satelit atas pertanyaan saya tentang orientasi masyarakat desa. Rasanya, saya kenal dengan pernyataan mereka; saya pernah membacanya dan saya juga pernah menggunakannya untuk membantu tulisan ilmiah saya di akhir perkuliahan sebagai satu-satunya syarat kelulusan. Saya mengumpulkan potongan informasi dalam perkataan teman saya dan menggabungkannya menjadi kerangka konseptual, sebagaimana pengrajin sepatu kulit menggabungkan berbagai komponen, mulai dari: upper, insole, dan sole; menjadi sepasang sepatu kulit yang berkualitas. Hubungan antar kelas, kebutuhan, dan orientasi pernah saya baca dalam karya Richard Harker, Cheelen Mahar, dan Chris Wilkes yang berkolaborasi membahas karya Pierre Bourdieu yang diterjemahkan oleh Bagus Takwin dalam buku berjudul “(Habitus x Modal) + Ranah=Praktik: Pengantar Paling Komprehensif kepada Pemikiran Pierre Bourdieu”.
Buku tersebut menjelaskan tentang kelas. Menurutnya, kelas dibagi menjadi tiga, yaitu kelas: dominan, borjuis kecil, dan pekerja (Haryatmoko, 2003, 12-13, Martono, 2012, 35). Kelas terbagi karena tidak meratanya distribusi empat modal, yaitu modal: ekonomi, budaya, simbolik, dan sosial. Menurutnya, modal yang sangat mempengaruhi pembagian kelas adalah modal ekonomi dan budaya (Haryatmoko, 2003, 12; Murwani, tanpa tahun, 7-8). Modal ekonomi merupakan akumulasi kepemilikan nilai tukar, singkatnya adalah uang. Sementara itu, modal budaya merupakan kepemilikan atas kedekatan dengan budaya sehingga mampu mengenali budaya melalui pemecahan “kode budaya” (Harker et al, 172); singkatnya adalah pengetahuan. Di sisi lain, manusia merupakan produk historis yang mempengaruhi individu. Kepemilikan modal dan sosio-historis membentuk habitus individu, yaitu: cara persepsi, berpikir, dan berperilaku individu. Nampaknya, pembentukan habitus begitu mekanis sehingga, dengan menggunakan bahasa para positivis, mampu membangun “hukum” sebagaimana yang berlaku di ilmu alam, misalnya: fisika. Namun, Anda akan berubah pikiran saat mengetahui bagaimana berbagai modal dan ranah mempengaruhi habitus sehingga habitus tidak dapat tertebak. Habitus bukanlah penentu tindakan individu, tetapi hanya sebagai “pemberi saran” kepada individu; bukan merupakan faktor determinan (Harker, 2012, 19; Martono, 2012, 38; Haryatmoko, 2003, 9-10; Ritzer, 2012, 900).
Habitus, dengan demikian, merupakan produk khas individu yang mencerminkan kelasnya (Harker et al, 2009, 149; 157; 170). Perbedaan kelas akan menampilkan perbedaan habitus pada individu. Contoh populernya, cara berpakaian. Fashion merupakan manifestasi habitus yang berguna sebagai pembeda kelas di masyarakat luas, sebagaimana Bourdieu menolak determinisme Marx atas ekonomi yang menurutnya, “modal simbolik—suatu bentuk modal ekonomi fisikal yang telah mengalami transformasi dan, karenanya, telah tersamarkan...” (Bourdieu, 1977, 183 dalam Harker et al, 2009, 6)
Bourdieu kemudian menjelaskan bagaimana habitus bekerja dalam konteks kelas. Menurutnya, kelas dominan memiliki kebebasan dan “kebaikan budaya” untuk membentuk budaya serta mampu memaksakan habitus-nya sebagai “habitus yang paling baik dan paling pantas” di antara habitus yang dimiliki oleh kelas lainnya (Harker et al, 110-111; Murwani, tanpa tahun, 4, Martono, 2012, 35; Ritzer, 2012, 911). Pemaksaan tersebut disebut sebagai “kekerasan simbolik”, sebagaimana kelas dominan memiliki kemampuan untuk membangun “ranah” beserta peraturannya dan memiliki sumber daya yang lebih dari cukup sebagai medium untuk tujuannya (Harker et al, 2009, 6-7; 154; Murwani, tanpa tahun, 5-6; Martono, 2012, 39-40; Haryatmoko, 2003, 20-22). Ranah, menurut Bourdieu, merupakan tempat berbagai modal tersedia, dengan demikian terjadi “pertempuran” untuk mendapatkan/menggandakan modal, misalnya: sekolah dengan memiliki modal simbolik (ijazah) dan modal budaya (pengetahuan). Setiap ranah memiliki “aturan main” atau syarat kebutuhan modal dan habitus agar menjadi pemenang yang mendapatkan modal yang ada di dalam ranah (Harker et al, 2009, 14; 62; Ritzer, 2012, 905). Aturan main tersebut merupakan hasil karya kelas dominan. Sementara itu, kelah borjuis kecil, atau sedang marak-maraknya disebut sebagai “kelas tengah ngehek” di Jakarta, merupakan kelas yang sedang dan selalu dalam masa galau. Ya, term “ngehek” tidak asal disematkan ke mereka tanpa sebab apabila kita memikirkannya dengan cermat. Mereka (kelas borjuis kecil) selalu berusaha untuk membedakan dirinya dengan kelas pekerja dengan cara meniru habitus kelas dominan, sebagaimana habitus kelas dominan selalu dipandang “paling baik” oleh kelas lainnya. Namun, kelemahan mereka adalah mereka tidak memiliki “pemahaman”—sebagai bentuk habitus—sebagaimana yang dimiliki oleh kelas dominan (Harker et al, 2009, 154-155; 181-182; Martono, 2012, 35-36; Haryatmoko, 2003, 12-13). Oleh karena itu, mereka meniru habitus kelas atas, tetapi tidak mampu memahami maksud dari habitus yang ditirunya. Akhirnya, ya, rutinkan perhatian Anda pada acara dewasa ini, misalnya acara Color Run. Lari demi tujuan kesehatan, malah disiram air cat, betapa anehnya. Celana training sebagaimana masyarakat lampau memanggilnya, sekarang menjadi tren di mana-mana sebagai bawahan yang paling keren, dengan merubah namanya menjadi jogger atau apalah itu, yang sudah pasti adalah satu hal: kebodohan. Ada lagi yang cukup menghibur hati saya, yaitu tren waist bag bagi anak muda saat ini. Namanya saja waist bag ‘tas pinggang’, malah digunakan secara selempang, dari bahu ke perut secara diagonal. Saya ingat, saya menggunakan tas tersebut saat SD untuk membawa alat tulis saat ujian akhir, tetapi tentunya, tidak saya gunakan secara selempang. Aneh sekali. Selanjutnya, kelas pekerja. Menurut Bourdieu, kelas pekerja tidak mampu meniru habitus kelas dominan karena mereka terhimpit akan kebutuhan dasar, misalnya: makan dan minum; yang sudah pasti melibatkan kebutuhan ekonomi. Oleh karena itu, mereka (kelas pekerja) memiliki preferensi dengan syaratnya adalah fungsional (Harker et al, 2009, 156; 182). Mereka tidak ambil pusing untuk harus memiliki habitus kelas dominan. Hal yang menjadi prioritasnya adalah kegunaan barang/kegiatan untuk memenuhi kebutuhannya. Misalnya, mereka tidak ambil pusing akan tren yang berkembang saat ini, yang penting, misalnya, mereka membeli sepatu yang mampu melindungi kakinya dari panasnya jalan raya, entah itu akan dikatakan sebagai sepatu butut oleh kelas lainnya, yang penting kaki mereka terlindungi.
Jawaban dari teman saya bahwa etika subsisten yang, secara umum, dimiliki oleh masyarakat desa, atau secara khusus adalah masyarakat petani, menyebabkan mereka memilih untuk memprioritaskan orientasi jangka pendek yang berupa pendapatan yang ajeg bagi kehidupannya. Petani merupakan individu yang hidup dalam garis bawah kemiskinan, karenanya dekat akan ancaman ketidakmampuan untuk menyambung hidup. Di sisi lain, mereka dekat akan ekologi karena lingkungan tempat mereka tinggal adalah pertanian. Dengan demikian, mereka memanfaatkan lahan untuk mempertahankan hidupnya. Kondisi tersebut berlaku sudah lama, sehingga cara penanaman sudah dilakukan secara turun-menurun yang pada akhirnya memberikan mereka penjelasan secara intrinsik bahwa cara tersebut merupakan cara yang paling ampuh dalam rangka memenuhi kebutuhan mereka (Pertiwi dan Nurhamlin, 2014, 2). Oleh karena itu, “kebiasaan” tersebut menyebabkan mereka ketakutan apabila menerima inovasi/perubahan cara menanam karena mereka takut akan resiko yang bisa menyebabkan penurunan kemampuan untuk memenuhi kehidupannya dan mereka tidak memiliki orientasi untuk meningkatkan kebutuhan, mereka hanya berusaha untuk memenuhi kehidupan sehari-harinya saja (Sugihardjo et al, 2012, 146; Rejeki, 2007, 152; Setiawan, 2006, 13; Mahmudah dan Harianto, 2014, 2).
Orientasi masyarakat desa, dengan demikian, dapat diterjemahkan melalui pemahaman Bourdieu, seorang anak pegawai pos yang berasal dari Prancis. Hal yang menghantui pemikiran saya, yaitu: mengapa orientasi masyarakat desa sangat sempit; menurut Bourdieu jawabannya adalah karena kebutuhan ekonomi masyarakat desa, sebagaimana mereka merupakan kelas pekerja, bersifat sangat mendesak. Namun, menurut saya, hal tersebut bukan harga mati; kondisi yang menjadi perkataan, “ya sudah, memang begitu, mau diapakan?” Metode diskusi untuk menamakan dunia yang merupakan milik Freire dapat digunakan untuk membantu membuka pemikiran masyarakat desa (Freire, 1985, 71-123). Kita harus mengajak mereka berdialog untuk merefleksikan dunianya saat ini, kembali menggali asal-usul “penamaan”. Ya, dialog bersinonim dengan berpikir, sebagaimana yang diungkapkan oleh pemikir interaksionis simbolik, George Herbert Mead tentang berpikir, yaitu: “berpikir sama dengan berbicara dengan orang lain” (Mead, 1982, 155 dalam Ritzer, 2012, 613). Dengan demikian, kesadaran mereka terhadap kondisi mereka akan semakin kritis secara lambat-laun. Mereka akan mulai sadar bahwa “kebiasaan” yang mereka anut sebagaimana menurut Scott adalah etika “safety first” perlu dirubah dalam rangka meningkatkan kualitas hidupnya. Mereka akan mulai sadar dengan pentingnya memahami kondisi sosial daripada melulu mementingkan ekonomi, walaupun ya, ekonomi memang dibutuhkan. Namun, apakah kemampuan ekonomi tidak akan meningkat ketika pemahaman kita akan cara bekerja dunia makin baik? Jawabannya, menurut saya, yang saya yakini saat ini, yaitu: tidak! Kemampuan kita, dalam segi apapun, termasuk ekonomi, akan meningkat ketika kita memiliki pemahaman akan cara kerjanya. Selanjutnya, mereka akan memahami pentingnya pendidikan sebagai media untuk meningkatkan pemahamannya, atau secara mudah, merupakan media untuk menngivestasikan dirinya, terlepas dari pro-kontra sekolah sebagai ranah yang mempertahankan tatanan kelas sosial. Di sisi lain, sekolah tidak bersinonim sebagai pendidikan, sebagaimana pendidikan terdapat secara luas di masyarakat, sebagaimana saya memahaminya melalui masyarakat Pasuruan sebagai usaha untuk “ngaji alam”. Sementara itu, kita sebagai teman dialog mereka, juga akan mendapatkan berbagai pengetahuan baru. Pemahaman yang saya ketahui adalah belajar tidak harus bersama dengan mereka yang bergelar.
Mengapa kita harus mengajaknya berdialog, apakah masyarakat desa secara intern tidak mampu membahasnya? Saya rasa, pernyataan salah satu pakar pemberdayaan yang turut turun lapangan kemarin mampu menjawab pertanyaan tersebut. Mula-mula, ia bertanya kepada audiensi, “saya gendut tidak, Pak, Bu?” Pakar tersebut bertubuh tambun, dan tentu saja audiensi menjawabnya, “ya iyalah.” Pakar tersebut menjawabnya, “kata pasangan saya, saya tidak gendut. Saya kurus, lho.” Sontak, para audiensi kebingungan. Pakar tersebut melanjutkannya, “ya, karena pasangan saya bertemu dengan saya setiap hari, jadi saya tidak terlihat gendut.” Pakar tersebut kemudian menarik kesimpulan, “jadi, karena terbiasa itulah, perbedaan di diri saya tidak terlihat. Saya kurus saat menikah dulu. Oleh karena itu, perbedaan tidak terlihat karena kita sudah terbiasa.” Dengan demikian, interaksi yang bersifat “penyadaran” yang terjadi di intra masyarakat desa, mungkin, tidak akan terjadi karena sifatnya hanya membahas hal yang sehari-hari terjadi. Dengan demikian, tercipta “pemahaman umum” akan sifat interaksi mereka, dengan kata lain, memahas hal itu saja, dari sisi yang sama. Oleh karena itu, mereka membutuhkan interaksi yang sifatnya berbeda dengan interaksi mereka sehari-hari. Mereka membutuhkan interaksi yang membahas perihal, dalam konteks ini, pendidikan dari perspektif yang lain, sehingga mampu menggugah kesadaran mereka.
Posisikan pemikiran ini sebagai prototype, bukan sebagai pemikiran final. Tentunya, pemikiran ini akan lebih mutakhir apabila dilakukan penelitian secara elaboratif.
Daftar Pustaka
Freire, Paulo. (1985) Pendidikan Kaum Tertindas. Diterjemahkan dari bahasa Inggris oleh Tim Redaksi. Jakarta: LP3ES.
Haryatmoko. (2003) Landasan Teoritis Gerakan Sosial menurut Pierre Bourdieu: Menyingkap Kepalsuan Budaya Penguasa. Basis.
Harker, Richard., Mahar, Cheelan., dan Wilkes., Chris. (2009) (Habitus x Modal) + Ranah = Praktik: Pengantar Paling Komprehensif kepada Pemikiran Pierre Bourdieu. Diterjemahkan dari bahasa Inggris oleh Pipit Maizier. Edisi ke-2. Yogyakarta: Jalasutra.
Mahmudah, Erni., dan Harianto, Sugeng. (2014) Bargaining Position Petani dalam Menghadapi Tengkulak. Paradigma, 2 (1), 1-5. [online] Diakses dari: http://id.scribd.com/doc/202731440/BARGAINING-POSITION-PETANI-DALAM-MENGHADAPI-TENGKULAK#scribd [Diakses pada 4 Februari 2015].
Martono, Nanang. (2012) Kekerasan Simbolik di Sekolah: Sebuah Ide Sosisologi Pendidikan Pierre Bourdieu. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Murwani, Endah. (Tanpa Tahun) Distingsi sebagai Strategi Kekuasaan Simbolik (Studi tentang Relasi Produksi dan Konsumsi Brand Lifestyle.
Orwell, George. (2014) 1984. Diterjemahkan dari bahasa Inggris oleh Landung Simatupang. Edisi ke-2. Yogyakarta: Bentang Pustaka.
Pertiwi, Kartini Putri., dan Nurhamlin. (2014) Strategi Bertahan Hidup Petani Penyadap Karet di Desa Pulau Birandang Kecamatan Kampar Timur Kabupaten Kampar. Jurnal Online Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, 1 (2), 1-15. [online] Diakses dari: http://jom.unri.ac.id/index.php/JOMFSIP/article/download/2450/2385 [Diakses pada 4 Februari 2015].
Polimpung, Hizkia Yosie. (2014) Asal-Usul Kedaulatan: Telusur Psikogenealogis atas Hasrat Mikrofasis Bernegara. Depok: Kepik.
Rejeki, Ninik Sri. (2007) Perbedaan Budaya dan Adaptasi Antarbudaya dalam Relasi Kemitraan Inti-Plasma. Jurnal Ilmu Komunikasi, 4 (2), 145-166. [online] Diakses dari: http://ojs.uajy.ac.id/index.php/jik/article/viewFile/224/313 [Diakses pada 4 Februari 2015].
Ritzer, George. (2012) Teori Sosiologi: dari Sosiologi Klasik sampai Perkembangan Terakhir Postmodern. Diterjemahkan dari bahasa Inggris oleh Saut Pasaribu, Rh. Widada, dan Eka Adinugraha. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Setiawan, Nugraha. (2006) Keberdayaan Peternak di Pedesaan dalam Perspektif Sosiologi Politik. [online] Bandung: Universitas Padjadjaran. Diakses dari: http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2009/03/keberdayaan_peternak_di-pedesaan.pdf [Diakses pada 4 Februaru 2015].
Sugihardjo., Lestari, Eny., dan Wibowo, Agung. (2012) Strategi Bertahan dan Strategi Adaptasi Petani Samin terhadap Dunia Luar (Petani Samin di Kaki Pegunungan Kendeng di Sukolilo Kabupaten Pati). SEPA, 8 (2) 145-153. [online] Diakses dari: http://agribisnis.fp.uns.ac.id/wp-content/uploads/2013/10/11-Sugihardjo-Eny-Lestari-Agung-Wibowo_Strategi-Bertahan-Dan-Strategi-Adaptasi-Petani-Samin-Terhadap-Dunia-Luarpetani-1.pdf [Diakses pada 4 Februari 2015].
Freire, Paulo. (1985) Pendidikan Kaum Tertindas. Diterjemahkan dari bahasa Inggris oleh Tim Redaksi. Jakarta: LP3ES.
Haryatmoko. (2003) Landasan Teoritis Gerakan Sosial menurut Pierre Bourdieu: Menyingkap Kepalsuan Budaya Penguasa. Basis.
Harker, Richard., Mahar, Cheelan., dan Wilkes., Chris. (2009) (Habitus x Modal) + Ranah = Praktik: Pengantar Paling Komprehensif kepada Pemikiran Pierre Bourdieu. Diterjemahkan dari bahasa Inggris oleh Pipit Maizier. Edisi ke-2. Yogyakarta: Jalasutra.
Mahmudah, Erni., dan Harianto, Sugeng. (2014) Bargaining Position Petani dalam Menghadapi Tengkulak. Paradigma, 2 (1), 1-5. [online] Diakses dari: http://id.scribd.com/doc/202731440/BARGAINING-POSITION-PETANI-DALAM-MENGHADAPI-TENGKULAK#scribd [Diakses pada 4 Februari 2015].
Martono, Nanang. (2012) Kekerasan Simbolik di Sekolah: Sebuah Ide Sosisologi Pendidikan Pierre Bourdieu. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Murwani, Endah. (Tanpa Tahun) Distingsi sebagai Strategi Kekuasaan Simbolik (Studi tentang Relasi Produksi dan Konsumsi Brand Lifestyle.
Orwell, George. (2014) 1984. Diterjemahkan dari bahasa Inggris oleh Landung Simatupang. Edisi ke-2. Yogyakarta: Bentang Pustaka.
Pertiwi, Kartini Putri., dan Nurhamlin. (2014) Strategi Bertahan Hidup Petani Penyadap Karet di Desa Pulau Birandang Kecamatan Kampar Timur Kabupaten Kampar. Jurnal Online Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, 1 (2), 1-15. [online] Diakses dari: http://jom.unri.ac.id/index.php/JOMFSIP/article/download/2450/2385 [Diakses pada 4 Februari 2015].
Polimpung, Hizkia Yosie. (2014) Asal-Usul Kedaulatan: Telusur Psikogenealogis atas Hasrat Mikrofasis Bernegara. Depok: Kepik.
Rejeki, Ninik Sri. (2007) Perbedaan Budaya dan Adaptasi Antarbudaya dalam Relasi Kemitraan Inti-Plasma. Jurnal Ilmu Komunikasi, 4 (2), 145-166. [online] Diakses dari: http://ojs.uajy.ac.id/index.php/jik/article/viewFile/224/313 [Diakses pada 4 Februari 2015].
Ritzer, George. (2012) Teori Sosiologi: dari Sosiologi Klasik sampai Perkembangan Terakhir Postmodern. Diterjemahkan dari bahasa Inggris oleh Saut Pasaribu, Rh. Widada, dan Eka Adinugraha. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Setiawan, Nugraha. (2006) Keberdayaan Peternak di Pedesaan dalam Perspektif Sosiologi Politik. [online] Bandung: Universitas Padjadjaran. Diakses dari: http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2009/03/keberdayaan_peternak_di-pedesaan.pdf [Diakses pada 4 Februaru 2015].
Sugihardjo., Lestari, Eny., dan Wibowo, Agung. (2012) Strategi Bertahan dan Strategi Adaptasi Petani Samin terhadap Dunia Luar (Petani Samin di Kaki Pegunungan Kendeng di Sukolilo Kabupaten Pati). SEPA, 8 (2) 145-153. [online] Diakses dari: http://agribisnis.fp.uns.ac.id/wp-content/uploads/2013/10/11-Sugihardjo-Eny-Lestari-Agung-Wibowo_Strategi-Bertahan-Dan-Strategi-Adaptasi-Petani-Samin-Terhadap-Dunia-Luarpetani-1.pdf [Diakses pada 4 Februari 2015].
***
0 Comment:
Post a Comment