Enjoy!
09.07.2014
Prostitusi, atau yang juga dikenal dengan nama pelacuran, tidak bisa dilepaskan dari kehidupan sosial. Pelacuran merupakan fenomena sosial yang senantiasa hadir dan berkembang di setiap putaran roda zaman dan keadaan1. Sukar karenanya untuk memberikan garis pemisah antara kehidupan sosial dengan hadirnya pelacuran. Nafsu seksual sebagai hal naluriah dari individu merupakan salah satu penyebab dari eksistensi pelacuran. Freud menyatakan bahwa dorongan seksual individu merupakan kekuatan naluriah2. Penghasilan secara materiil dari pelacuran yang sangat menjanjikan para pelakunya merupakan penyebab berikutnya dari eksistensi pelacuran. Hukum ekonomi yang seringkali kita dengar; eksistensi barang berbanding lurus dengan permintaan, memudahkan penjelasan tersebut. Pelacuran tidak akan bertahan ketika permintaan akan hal tersebut nihil.
Lokalisasi pelacuran seringkali menjadi acuan sebagai–meminjam istilah Durkheim–representasi kolektif masyarakat. Ritzer menjelaskan konsep Durkheim tentang representasi kolektif; menyatakan bahwa representasi kolektif menggambarkan kepercayaan-kepercayaan, norma-norma dan nilai-nilai kolektif, dan mereka mendorong kita untuk menyesuaikan diri kepada klaim-klaim kolektif itu3. Hadirnya lokalisasi pelacuran dikhawatirkan menimbulkan ide yang bertolak belakang dengan nilai-nilai yang hadir di masyarakat. “Merusak moral”, adalah pernyataan yang seringkali menjadi argumen dalam pembicaraan pro-kontra diselenggarakannya lokalisasi pelacuran.
Lalu, jika nafsu merupakan hasrat naluriah individu, permintaan akan pelacuran tidak menurun dan lokalisasi pelacuran merupakan representasi kolektif demoralisasi dalam masyarakat, apa yang mampu membatasinya? Durkheim menjawabnya dengan moral. Lalu pertanyaan berikutnya muncul; bagaimana membentuk moral? Kembali, dengan lugas Durkheim menjawabnya melalui pendidikan. Dapat ditarik kesimpulan bahwa dengan moral-lah fenomena pelacuran dapat ditekan. Namun, apakah pendidikan kita sudah mendukungnya?
Berikut, akan diulas mengenai pendidikan moral menggunakan perspektif dari Emile Durkheim. Sejalan dengan pemikiran Durkheim, pembahasan berikut tidak menitikberatkan apakah prostitusi merupakan hal yang bersifat baik atau buruk. Bukan mendapatkan dasar moral dari ilmu pengetahuan (baik atau buruknya perilaku), namun melihat secara lebih definitif menunjukkan apa yang disebut Durkheim sebagai science positive de la morale (ilmu moralitas yang positivis)4.
Moral?
Apa itu moral? Sosiolog asal Prancis tersebut menyatakan bahwa moral merupakan dasar dari konsensus sosial5. Tiap-tiap masyarakat memiliki kepentingannya masing-masing, dengan moral merupakan bagian inti dari konsensus sosial yang berperan sebagai media dalam mencapai tujuan dari kepentingannya tersebut. Berbuat moralistis (sesuai dengan moral yang ada dalam masyarakat) berarti berbuat menurut kepentingan kolektif6. Dengan demikian, moralitas merupakan bagian fungsional–kata khas para struktural fungsional–dari masyarakat7. Keteraturan dalam masyarakat bergantung dari kepatuhan para anggotanya. Moral, dengan demikian, merupakan penopang utama dari keteraturan yang diharapkan oleh masyarakat.
Moralitas memiliki fungsi sebagai penentu tingkah laku8. Durkheim memandang bahwa manusia terancam melakukan pelonggaran “patologis” ikatan-ikatan moral, yang mana pelanggaran tersebut berdasarkan pada nafsu-nafsu dari individu yang terus meluas dan tidak pernah puas9. Tiap-tiap individu menyimpan potensi penyimpangan sosial, yang mana hal tersebut dipandang merugikan dalam proses mencapai cita-cita kolektif dalam masyarakat. Oleh karenanya, konsep moral dalam masyarakat mengandung dimensi imperatif; memerintah individu untuk menentukan perilakunya. Moral sebagai bagian inti dari fakta sosial dengan demikian bersifat obyektif, sesuatu yang “di sana”, di luar individu, yang bersifat mengekang atau memaksa bagi individu10.
Lepas dari Moral, Rugikah?
Kembali, moral merupakan nilai baik buruk yang eksis dalam masyarakat. Setiap masyarakat mempunyai moralitasnya sendiri11. Analoginya, dalam setiap permainan memiliki aturannya sendiri. Bagi para pemain yang mengikuti aturan main yang ada, niscaya individu tersebut mampu menikmati jalannya permainan. Sebaliknya, bagi individu yang tidak mengikuti aturan main, akan mengalami kesusahan dalam mengikuti permainan. Dalam permainan juga terdapat hukuman bagi individu yang tidak mematuhi peraturan. Durkheim membagi dua jenis hukuman, yaitu represif (dalam masyarakat mekanis) dan restitutif (dalam masyarakat organis)12. Dua bentuk hukuman tersebut pada intinya berfungsi sebagai alat untuk mengembalikan individu yang menyimpang dari moralitas masyarakat untuk kembali mematuhi peraturan yang ada.
Dalam konteks moralitas di Indonesia, pelacuran–pelaku; penjual maupun pembeli–merupakan bentuk penyimpangan dari moral masyarakat. Individu yang terlibat dalam aktivitas pelacuran oleh masyakat akan dipandang rendah, atau seringkali disebut “tidak bermoral”. Indonesia yang menganut pemahaman moral sebagaimana diuraikan sebelumnya memaksa individu untuk mematuhinya. Bagi para individu yang melanggarnya, akan merugi; mendapatkan pandangan negatif dari masyarakat yang kemudian menyusahkan individu tersebut untuk tetap eksis dalam masyarakat.
Lalu, jika kenyataan tersebut sudah disadari oleh masyarakat Indonesia, mengapa pelacuran masih tetap eksis?
Pendidikan sebagai Agen Transformasi Moral
Moralitas merupakan realitas yang berada di luar individu, yang mana hadir dalam kesadaran individu karena dipelajari melalui proses sosialisasi13. Pada umumnya, sekolah merupakan, dan seharusnya memang merupakan, roda penggerak pendidikan nasional14. Oleh karenanya, sudah kewajiban bagi sekolah untuk menanamkan moralitas kepada peserta didiknya. Pendidikan didefinisikan oleh Durkheim sebagai proses yang ditempuh sang individu untuk memperoleh alat-alat fisik, intelektual, dan, paling utama bagi Durkheim, alat-alat moral, yang dibutuhkan agar dapat berfungsi di dalam masyarakat15.
Merupakan hal yang penting untuk menanamkan moralitas kepada individu sejak tahap pendidikan dasar, agar individu tersebut memiliki ikatan yang kuat dengan moralitas yang ada dalam masyarakat. Apabila sesudah tahap sekolah dasar berlalu, yakni sesudah masa sekolah, belum diletakkan dasar-dasar moralitas, maka dasar-dasar moralitas itu tidak akan pernah tertanam dalam diri si anak16.
Bagaimana refleksi pendidikan di Indonesia? Dewasa kini sering dijumpai “pelemparan” tanggung jawab pendidikan moral kepada mata pelajaran tertentu, misalnya pelajaran agama. Hasil penelitian Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan (PSPK) UGM Yogyakarta, sebagaimana dikutip Budiningsih (2004) menunjukkan bahwa secara substansial, pendidikan agama telah gagal menanamkan pertimbangan dalam membangun perilaku yang sepadan antara hubungan vertikal (manusia dengan Tuhan) dan horizontal (pemeluk agama satu dengan yang lain) dalam masyarakat yang damai dan pluralis17. Pendidikan agama lebih didominasi oleh transformasi ilmu pengetahuan agama dan lebih banyak bersifat hafalan yang tekstual, sehingga kurang menyentuh aspek sosial dalam hubungannya dengan ajaran hidup yang toleran dalam bermasyarakat dan berbangsa18. Hal tersebut berbanding lurus dengan kenyataan bahwa sistem pendidikan di Indonesia yang sangat kuantitatif, yang menganggap bahwa kepandaian siswa dapat diukur dan dinilai dengan angka19.
Rasionalisasi Moral; Keniscayaan Masyarakat Modern
Terlintaskah pemikiran bahwa jika pendidikan moral saja tidak mampu diterapkan dalam sistem pendidikan di Indonesia, kemudian bagaimana mengenai pembahasan rasionalisasi moral? Setidaknya, perencaan membutuhkan tahapan dalam jangka panjang, yang mana kiranya dapat menjadi pertimbangan pemikiran.
Konsensus lama (yang di dalamnya terdapat moralitas) yang bersandarkan pada (nilai-nilai) agama, perlu dipermasalahkan lagi keberadaannya20. Lebih lanjut Abdullah menyatakan:
Karena dalam situasi perubahan sosial, yang telah dimotori oleh kemajuan ilmu dan teknologi, dasar moralitas yang kuat ialah akal, bukannya wahyu, maka dasar baru pun diperlukan pula ... kelemahan dari dasar moral lama ini dalam berhadapan dengan perubahan zaman adalah kenyataan bahwa wahyu pada dasarnya bersifat pra-pengalaman–ia telah dianggap benar sebelum dibuktikan. Dan inilah keberatan Durkheim yang utama. Baginya moralitas bukanlah sesuatu yang deduktif, melainkan sesuatu yang berangkat dari kenyataan empiris. Dengan kata lain, moralitas yang ilmiah bercorak pasca-pengalaman21.
Antara ilmu pengetahuan dan moral tidak bisa dipisahkan, yang mana bagi Durkheim “kebenaran” itu semestinyalah sekaligus bersifat moralitas dan ilmiah22. Perubahan struktur dengan sendirinya menuntut dasar moralitas yang baru23.
Di Indonesia, masih sering kita beragam argumentasi yang berlandaskan nilai-nilai agama. Bukannya menolak kehadiran agama (sekularisasi), namun lebih tepatnya melihat secara rasional perkembangan ilmu pengetahuan yang terjadi dewasa kini. Meningkatnya ilmu pengetahuan mengindikasikan meningkatnya akal individu. Lebih lanjut, hal tersebut pada akhirnya menciptakan individu yang membutuhkan argumentasi-argumentasi yang sesuai dengan rasionya. Bilamana terdapat argumentasi yang tidak masuk dalam kategori “rasional”, nampaknya argumentasi tersebut hanya selintas saja berada dalam akal individu.
Demikian pula seyogyanya moralitas yang ditransfer melalui pendidikan membahas mengenai prostitusi. Seringkali dijumpai pembahasan mengenai prostitusi mengalami proses sensorasi; dianggap tabu, tidak bermoral atau kurang umur. Jikalau pembahasan tersebut disertakan dengan alasan yang rasional (misalnya, jika terlibat dalam prostitusi akan berdampak pada kesehatan) serta penjelasan yang ketat, niscaya praktek prostitusi di zaman modern mampu tereduksi. Namun, kembali pertanyaannya adalah; apakah sistem pendidikan di Indonesia telah memberikan kesempatan pada sosialisasi moral yang diadakan di sekolah, yang notabene-nya sekolah dewasa kini sedang sibuk mempersiapkan para peserta didiknya untuk menyesuaikan diri pada sistem kapitalisme?
1. Lamijo. 2006. Prostitusi di Jakarta dalam Tiga Kekuasaan, 1930 – 1959. Sejarah dan Perkembangannya. Diakses pada 8 Juli 2014 dari http://www.geocities.ws/konferensinasionalsejarah/lamijo_psdr_lipi.pdf. Halaman 1.
2. Sigmund Freud dalam Yogi Ishabib. 2010. Gerakan Musik Independent; Interpretasi Psikoanalisa Herbert Marcuse terhadap Wacana Gerakan Musik Independent di Indonesia [Skripsi]. Universitas Airlangga: Tidak Diterbitkan. Halaman 30. Skripsi oleh Ishabib membahas secara ketat perkembangan teori dari Freud hingga Marcuse. Oleh karenanya, dinilai kompeten sebagai bahan referensi.
3. George Ritzer. 2012. Teori Sosiologi; dari Sosiologi Klasik sampai Perkembangan Terakhir Postmodern. Pustaka Pelajar: Yogyakarta. Halaman 139.
4. Taufik Abdullah. 1986. Durkheim dan Pengantar Sosiologi Moralitas. Yayasan Obor Indonesia: Jakarta. Halaman 9.
5. Ibid. Halaman 3.
6. Emile Durkheim dalam Taufik Abdullah. Ibid. Halaman 11.
7. Taufik Abdullah. Ibid.
8. Ibid. Halaman 160.
9. George Ritzer. Op.cit. Halaman 137.
10. Taufik Abdullah. Op.cit. Halaman 12.
11. Ibid. Halaman 11.
12. Penjelasan lebih detail mengenai masyarakat dengan solidaritas mekanis dan organis sila baca Taufik Abdullah. 1986. Durkheim dan Pengantar Sosiologi Moralitas. Yayasan Obor Indonesia: Jakarta. Halaman 81-125.
13. Prof. Dr. Damsar. 2012. Pengantar Sosiologi Pendidikan. Kencana: Jakarta. Halaman 31.
14. Taufik Abdullah. Op.cit. Halaman 151.
15. Durkheim dalam George Ritzer. Op.cit. Halaman 181.
16. Taufik Abdullah. Op.cit.
17. Nanang Martono. 2010. Pendidikan Bukan Tanpa Masalah: Mengungkap Problematika Pendidikan dari Perspektif Sosiologi. Gava Media: Yogyakarta. Halaman 135.
18. Ibid.
19. Ibid. Halaman 67.
20. Ibid. Halaman 67.
21. Ibid.
22. Ibid.
23. Ibid. Halaman 11.
***
0 Comment:
Post a Comment