Manuscript of thought

Reproduksi: Konflik Laten dalam Sekolah

4/01/2015 09:51:00 PM Posted by Unknown No comments
Tulisan ini ditujukan untuk majalah Subversif, yaitu majalah tersohor milik Sosiologi Universitas Airlangga yang, sayangnya, entah kemana sekarang.

Enjoy!

25.05.2013

Sekolah merupakan salah satu pranata sosial dalam masyarakat. Dalam peranannya, sekolah menjadi salah satu pranata sosial yang memberikan sosialisasi terhadap peserta didiknya, seperti salah satunya adalah dalam hal sosialisasi nilai serta norma yang ada dalam masyarakat. Tentunya, peranan terebut memiliki argumentasi kritis, memandang dari peran sekolah saat ini.

Masyarakat luas memandang sekolah tidak hanya sebagai agen sosialisasi, namun juga sekolah dipandang sebagai instrumen dalam mobilitas sosial peserta didiknya. Hidup anggapan dalam masyarakat bahwa semakin tinggi seseorang dalam pendidikannya, semakin terbuka kesempatan bagi seseorang tersebut untuk dapat menduduki posisi tinggi dalam dunia kerja. Negera-pun menjadikan sekolah sebagai alat standarisasi bagi pekerjaan. Tentunya, sangat naif bila tidak melihatnya dari arus globalisasi dewasa ini.

Demikian, sekolah memangku ekspektasi yang tinggi dari masyarakat. Dengan tingginya ekspektasi tersebut, sekolah berusaha untuk memberikan yang terbaik. Namun, sebagaimana dalam usaha-usaha lainnya, butuh adananya nuansa yang menunjang bagi kegiatan yang diadakan di sekolah. Nuansa yang menunjang tersebut memiliki tujuan serta harapan agar dapat merealisasikan harapan dari masyarakat dan juga negara.

Dengan demikian, sekolah memiliki kepentingan dalam menjaga stabilitasnya. Hal ini dilakukan agar kegiatan yang dilakukan dalam sekolah terus dapat berjalan dengan lancar. Salah satu contohnya adalah pentingnya menjaga kelancaran kegiatan belajar mengajar. Adanya peserta didik yang melanggar aturan-aturan yang telah disematkan dalam sekolah, dapat secara ekstrim digambarkan, akan dibungkam oleh pihak sekolah. Salah satu pelanggaran yang sering terlihat secara gamblang adalah peserta didik yang membolos saat jam pelajaran tertentu, atau merokok dalam jam pelajaran di sekolah. Selanjutnya, peserta didik yang melanggar akan dilabelkan sebagai peserta didik yang nakal, yang tidak sesuai dengan aturan main dalam sekolah, atau dalam kosakata lain adalah peserta didik yang menyimpang. Dengan jalan nir-dialogis, peserta didik akan diberikan hukuman yang sesuai dengan kenakalannya.

Dengan pemberian hukuman terhadap peserta didik yang menyimpang, sekolah berharap dapat memberikan kontrol sosial secara preventif terhadap peserta didik yang lain agar tidak melakukan hal yang sama sebelumnya. Hal ini dianggap wajar dari sudut pandang sekolah, sebgaimana sekolah berusaha agar kegiatan belajar mengajar dapat berjalan dengan lancar.

Sedikit analisa dalam dimensi yang lebih luas, sekolah menilai pentingnya penjagaan kestabilan kegiatan belajar mengajar demi nama baik sekolahnya. Adanya harapan standarisasi (dalam bentuk UN) tanpa adanya standarisasi dalam dimensi akar rumput (guru serta fasilitas sekolah), menyebabkan timbulnya dikotomi antara sekolah favorit dan sekolah tidak favorit. Tentunya, hal ini menjadikan sekolah terbebani dengan adanya penilaian seperti yang tersebutkan.

Merujuk pada pendekatan struktural konflik oleh Dahrendorf, permasalahan ini dapat dianalisa. Dahrendorf menyatakan, salah satu hal untuk menjaga nilai, norma, serta kekuasaan yang ada adalah dengan jalan paksaan terhadap pihak-pihak tertentu. Dahrendorf melihat adanya kepastian bahwa tidak semua penghuni dalam struktur akan sesuai dengan strukturnya tersebut. Dengan berbagai upaya untuk menjaga stabilitas nilai, norma, serta kekuasaan, pihak-pihak tertentu akan mengadakan konflik. Tujuannya adalah untuk pengorganisasian ulang kekuasaan untuk dapat me-reorganisasikan nilai serta norma yang ada dalam sebuah struktur.

Dalam hal ini, sekolah sebagai penjaga nilai serta norma dalam bidang kekuasaan sekolah terhadap murid, mencoba untuk menjaga stabilitasnya. Dengan jalan pemaksaan nilai serta norma melalui kekuasaan, sekolah melakukan pembungkaman terhadap peserta didiknya yang melanggar nilai serta norma yang ada dalam sekolah. Caranya dapat beragam, mulai dari pemberian hukuman secara gamblang, dan atau melalui cara penyebaran wacana bahwa anak yang melanggar adalah menyimpang.

Kenakalan peserta didik dalam sekolah dapat dianggap sebagai usaha konflik yang berdimensi laten dari peserta didik. Peserta didik digambarkan tidak memiliki konformitas dengan struktur yang eksistensial, yang dimana peserta didik tersebut berharap agar adanya perubahan di dalam strukturnya tersebut, dalam hal ini adalah sekolah. Namun dengan ketiadaannya dalam bidang kekuasaan, usaha tersebut dapat dikatakan sebagai kegagalan, yang berakhir pada buruknya reputasi mereka dalam sekolah.

Hal ini dapat direfleksikan pada zaman transisi orde baru-reformasi. Zaman orde baru yang menitikberatkan pada kestabilan demi perubahan sosial yang baik (bagi sebagian orang), membungkam aspirasi yang menyelubungi masyarakat. Tidak ada jalan dialogis-diskursif yang ada untuk menjembatani pemerintahan dengan masyarakat. Pada akhirnya, zaman orde baru dapat dikatakan gagal dalam membungkam konflik demi stabilnya perubahan sosial. Dengan jalan pembungkaman demikian, bukannya malah menghilangkan konflik demi kebaikan, tetapi malah berujung terhadap usaha revolusioner dari masyarakat.

Melalui dekonstruksi, dapat dilihat bahwa penyimpangan yang dilakukan peserta didik bukanlah penyimpangan dengan arti yang harfiah. Usaha demikian oleh peserta didik adalah usaha konflik yang berada dalam tahap laten. Peserta didik dapat dipahami tidak memiliki kesesuaian dengan struktur yang ada dalam sekolah. Peserta didik tidak memiliki pilihan lain selain bersekolah. Dengan demikian, peserta didik menginginkan adanya kesesuaian antara dirinya dengan struktur sekolah. Melalui konflik, harapan peserta didik adalah adanya pengorganisasian ulang mengenai nilai serta norma yang dianut oleh sekolah.

Oleh karenanya, perlu diperhatikan bahwasanya yang dibutuhkan peserta didik dalam hal seperti demikian adalah dialog. Dengannya, diharapkan peserta didik dapat memberikan aspirasinya mengenai nilai, norma, serta kekuasaan yang ada dalam dunianya, agar peserta didik dapat lagi sesuai dengan struktur yang ada.

***

0 Comment: