Tulisan saya yang pernah dimuat di portal berita online, KoranOpini.com, pada 19 Oktober 2014.
Anda juga bisa melihatnya di Academia.
Beberapa penulis buku yang konsern akan dunia pendidikan di Indonesia menyayangkan minimnya pendidikan moral kepada peserta didik di sekolah. Martono (2010, 134) melihat bahwa gagalnya sekolah menanamkan nilai yang berlaku di masyarakat menyebabkan kemerosotan moral bangsa. Sementara itu, Suparno (2008, 81) melihat bahwa penyimpangan oleh peserta didik—misalnya, tawuran pelajar, seks bebas, dan perkosaan—disebabkan oleh penekanan pendidikan kognitif ketimbang pendidikan nilai di Indonesia.
Kritik di atas seolah dijawab oleh beberapa sekolah di Indonesia, salah satunya adalah melalui usaha yang dilakukan oleh Sekolah Dasar Negeri (SDN) Margadadi IV Kabupaten Indramayu. Sekolah tersebut menerapkan sanksi berupa denda kepada siswa yang melanggar aturan disiplin sekolah (Republika Online, 2014). Menurut pengakuan Kepala Sekolah SDN Margadadi IV, penerapan sanksi tersebut dilatarbelakangi oleh maraknya pelanggaran yang dilakukan oleh peserta didiknya, misalnya: perkelahian intra SDN Margadadi IV, tidak mengerjakan pekerjaan rumah, seringnya datang terlambat, pencurian, dan perusakan fasilitas sekolah—misalnya memecahkan pot bunga. Ada dua hal yang perlu digarisbawahi dalam kasus tersebut, yaitu:
1. Penerapan denda kepada siswa yang melanggar aturan siswa dengan beban biaya yang beragam, misalnya siswa akan didenda Rp 100 ribu apabila siswa berkelahi dengan adik/kakak kelas; dan
2. Pengawas—atau dalam artikulasi kepala sekolah tersebut adalah “polisi”—dari aturan tersebut adalah peserta didik. Jadi, peserta didik akan melaporkan temannya apabila melakukan kesalahan. Pelapor atas pelanggaran yang dilakukan oleh temannya akan mendapatkan hadiah dari sekolah.
Usaha yang dilakukan oleh sekolah tersebut memiliki hubungan dengan uraian di atas, yaitu untuk mendisplinkan peserta didiknya. Dengan kata lain, usaha tersebut bertujuan agar meningkatkan moralitas para peserta didiknya. Memang, merujuk pada uraian di atas, pendidikan yang mentransformasikan moral kepada peserta didik sangat dibutuhkan dalam dunia pendidikan di Indonesia. Namun, apakah hal tersebut sepatutnya dilakukan?
Mari kita ambil salah satu kasus yang paling ngetren, yaitu perkelahian, dalam konteks kasus ini adalah perkelahian antara adik dan kakak kelas. Aturan yang diterapkan sekolah tersebut merupakan bentuk dari hukuman represif. Patut kita cermati bahwa sekolah tersebut tidak lagi menitikberatkan pada usaha preventif. Menurut Kepala Sekolah SDN Margadadi IV, hal tersebut dikarenakan gagalnya usaha yang telah dilakukan oleh sekolah dalam menanggulangi penyimpangan peserta didiknya. Namun, apakah usaha itu? Sayangnya, kita tidak menemukan jawabannya dalam artikel tersebut. Mari kita sedikit berimajinasi terkait usaha yang telah dilakukan sekolah tersebut sebelumnya: mengapa usaha tersebut gagal? Argumen yang segera muncul adalah kurangnya pemahaman yang mendalam oleh sekolah mengenai alasan peserta didik melanggar peraturan. Hal tersebut tentunya menyebabkan penanganan yang salah sehingga “usaha sebelumnya” menurut Kepala Sekolah tersebut gagal. Seyogyanya, usaha preventif dalam menanggulangi penyimpangan terlebih dahulu dilakukan daripada usaha represif. Selain itu, usaha preventif mampu memahami akar permasalahan konflik sehingga mampu menangguangi konflik secara lebih baik (Ridwan, 2009, 103). Usaha preventif yang dimaksud dapat berupa pendidikan yang terkait dengan konflik.
Interaksi antar-tingkatan juga turut menjadi penyebab dari konflik yang terjadi di sekolah tersebut. Saya ingat betul apa yang diajarkan oleh dosen saya yang memiliki pemahaman komprehensif dalam bidang konflik, Novri Susan. Menurutnya, konflik dapat diredam melalui cara yang sederhana, yaitu peningkatan intensitas interaksi. Berdasarkan pengalaman saya menjalani pendidikan di tingkat SD hingga SMA, interaksi yang terjadi antar-tingkatan (mari kita ambil contoh antara kelas X dan kelas XII SMA) sangat minim. Interaksi antar angkatan hanya terjadi secara informal, seperti saat istirahat atau sepulang sekolah. Interaksi antar-tingkatan yang diakomodir oleh sekolah hanya terjadi setahun sekali, yaitu ketika lomba memperingati hari kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus. Tidak ada lagi media interaksi antar-tingkatan yang secara formal diadakan oleh sekolah selepas itu. Oleh karena itu, secara tidak langsung tercipta jarak antar-tingkatan dalam hal interaksi. Dengan demikian, usaha sekolah untuk menyediakan media interaksi antar-tingkatan niscaya mampu meredam cikal-bakal konflik.
Permasalahan selanjutnya adalah pemberlakuan peraturan bahwa siswa merupakan “polisi” dari aturan yang diterapkan oleh sekolah tersebut. Selanjutnya, siswa yang melaporkan temannya ke pihak sekolah apabila melanggar peraturan akan diberi hadiah oleh pihak sekolah. Peraturan tersebut tentunya bertentangan dengan apa yang ingin diciptakan dari berlakunya peraturan di SDN Margadadi IV Kabupaten Indramayu, yaitu meminimalisir perkelahian antar-muridnya. Intensitas konflik akan meningkat apabila pihak yang dilaporkan oleh siswa kepada sekolah tidak terima dengan pelaporan tersebut. Hal tersebut makin diperparah apabila tingkat interaksi di antara mereka sangat rendah. Selain itu, tidak adanya pemetaan konflik yang komprehensif akan menyebabkan kebutaan terhadap penyebab konflik sehingga konflik yang ada tidak dapat diselesaikan dengan baik, atau hanya sekadar “gencatan senjata”. Oleh karena itu, konflik mudah kembali ke permukaan atau dengan kata lain mudah terpicu.
Terkait dengan efektifitas peraturan tersebut, mari kita asumsikan bahwa masyarakat kabupaten Indramayu merupakan masyarakat gemeinschaft. Menurut Huda dan Wibowo (2013, 135), masyarakat gemeinschaft digambarkan sebagai kehidupan bersama yang intim, pribadi, dan eksklusif serta suatu keterikatan yang dibawa sejak lahir. Ciri pokok yang membedakan sebuah gemeinschaft (community) dengan lainnya adalah intimate (hubungan mesra), private (bersifat pribadi), exclusive (hubungan berlaku untuk anggota saja, bukan untuk di luar anggota), adanya common will (kehendak bersama), consensus (kesepakatan), serta adanya natural law (kaidah alami) yang dibuat para anggotanya (Suharto, 331). Dengan demikian, masyarakat gemeinschaft merupakan masyarakat yang menekankan kebersamaan di antara anggotanya. Peserta didik yang akan menjadi “polisi” dalam aturan sekolah tersebut tentunya berbenturan dengan tipologi masyarakat Indramayu. Oleh karena itu, dengan meminjam istilah aliran positivisme, dapat diramalkan bahwa peraturan tersebut akan menemui banyak kendala sehingga peraturan tersebut tidak dapat berjalan dengan baik. Hal tersebut dikarenakan peserta didik akan lebih memilih kesejahteraan anggotanya (sesama peserta didik) daripada kesejahteraan dirinya sendiri.
Kita akan memandang bahwa peraturan yang diterapkan oleh sekolah tersebut memiliki nuansa positif, ketika kita mampu mem-bracketing moral yang berlaku dalam masyarakat. Usaha yang dilakukan sekolah tersebut saya nilai memiliki sisi positif, yaitu mencerminkan perlunya kontrol yang kuat dalam sekolah, atau yang ingin saya tarik lebih jauh lagi adalah refleksi pentingnya peningkatan kontrol dalam masyarakat. Tentunya, hal tersebut harus menempuh usaha yang tidak mudah atau tidak sekonyol apa yang dilakukan oleh sekolah di atas. Usaha yang harus dilalui adalah mendidik masyarakat luas secara rasional. Oleh karena itu, pendidikan sebagai kapital budaya dalam bahasa Damsar (2012, 201-202) sebaiknya lebih menitikberatkan pada pemberian pengetahuan komprehensif mengenai pentingnya kontrol di masyarakat secara kontinyu ketimbang sekadar memberikan informasi sempit yang multi-tafsir, seperti yang tercermin dari pemberlakuan murid sebagai “polisi” atas aturan sekolah.
Kesimpulannya adalah, kebijakan yang diambil oleh SDN Margadadi IV Kabupaten Indramayu kurang tepat. Apakah karena faktor guru, sebagaimana Darmaningtyas (2008, 197) menyatakan bahwa rendahnya profesionalitas guru menyebabkan rendahnya mutu pendidikan di Indonesia? Selain itu, sekolah tersebut mengambil kebijakan yang hanya mementingkan tujuan jangka pendek, bukan tujuan jangka panjang yang tercermin melalui penerapan hukum represif ketimbang berusaha di ranah preventif. Sesungguhnya, usaha preventif turut mengembangkan sumber daya manusia di Indonesia dengan mengedepankan pemberian pengetahuan.
Daftar Pustaka
Damsar. (2012) Pengantar Sosiologi Pendidikan. Jakarta: Kencana.
Martono, Nanang. (2010) Pendidikan Bukan Tanpa Masalah: Mengungkap Problematika Pendidikan dari Perspektif Sosiologi. Yogyakarta: Penerbit Gava Media.
Huda, Khoirul. dan Wibowo, Anjar Mukti. (2013) Interaksi Sosial Suku Samin dengan Masyarakat Sekitar (Studi di Dusun Jepang Desa Margomulyo Kecamatan Margomulyo Kabupaten Bojonegoro Tahun 1990-2012). Jurnal Agastya, vol. 3, no. 1, halaman 129-148. [online] Diakses dari http://ikippgrimadiun.ac.id/ejournal/sites/default/files/INTERAKSI%20SOSIAL%20SUKU%20SAMIN.pdf [Diakses pada 19 Oktober 2014].
Lie, Anita., Sayoga, J. C. Tukiman Taruna., Parera, Frans., Joesoef, Daoed., Suparno, S. J. Paul., Tilaar, H. A. R., Buchori, Mochtar., Marianti, Franscesco., Sularto., Darmaningtyas., Supratiknya., dan Widiyanto, Priyo. (2008) Pendidikan Nasional dalam Reformasi Politik dan Kemasyarakatan. Yogyakarta: Penerbit Universitas Sanata Dharma.
Republika Online (2014) Sekolah Ini Terapkan Denda Uang kepada Siswa yang Langgar Aturan. [online] Jakarta: Republika Online. Diakses dari http://www.republika.co.id/berita/pendidikan/eduaction/14/10/19/ndnjuk-sekolah-ini-terapkan-denda-uang-kepada-siswa-yang-langgar-aturan [Diakses pada 19 Oktober 2014].
Ridwan, Aulia. (2009) Sistem Prevensi School Violence di Madura Berbasis Galtung Conflict Triangle. Islamica: Jurnal Studi Keislaman, vol. 3, no. 1, halaman 101-108. [online] Diakses dari http://islamica.uinsby.ac.id/index.php/islamica/article/download/54/50 [Diakses pada 19 Oktober 2014].
Suharto, Toto. (2005) Konsep Dasar Pendidikan Berbasis Masyarakat. Jurnal Cakrawala Pendidikan, no. 3, halaman 323-346. [online] Diakses dari http://journal.uny.ac.id/index.php/cp/article/download/376/pdf [Diakses pada 19 Oktober 2014].
Anda juga bisa melihatnya di Academia.
19.10.2014
Beberapa penulis buku yang konsern akan dunia pendidikan di Indonesia menyayangkan minimnya pendidikan moral kepada peserta didik di sekolah. Martono (2010, 134) melihat bahwa gagalnya sekolah menanamkan nilai yang berlaku di masyarakat menyebabkan kemerosotan moral bangsa. Sementara itu, Suparno (2008, 81) melihat bahwa penyimpangan oleh peserta didik—misalnya, tawuran pelajar, seks bebas, dan perkosaan—disebabkan oleh penekanan pendidikan kognitif ketimbang pendidikan nilai di Indonesia.
Kritik di atas seolah dijawab oleh beberapa sekolah di Indonesia, salah satunya adalah melalui usaha yang dilakukan oleh Sekolah Dasar Negeri (SDN) Margadadi IV Kabupaten Indramayu. Sekolah tersebut menerapkan sanksi berupa denda kepada siswa yang melanggar aturan disiplin sekolah (Republika Online, 2014). Menurut pengakuan Kepala Sekolah SDN Margadadi IV, penerapan sanksi tersebut dilatarbelakangi oleh maraknya pelanggaran yang dilakukan oleh peserta didiknya, misalnya: perkelahian intra SDN Margadadi IV, tidak mengerjakan pekerjaan rumah, seringnya datang terlambat, pencurian, dan perusakan fasilitas sekolah—misalnya memecahkan pot bunga. Ada dua hal yang perlu digarisbawahi dalam kasus tersebut, yaitu:
1. Penerapan denda kepada siswa yang melanggar aturan siswa dengan beban biaya yang beragam, misalnya siswa akan didenda Rp 100 ribu apabila siswa berkelahi dengan adik/kakak kelas; dan
2. Pengawas—atau dalam artikulasi kepala sekolah tersebut adalah “polisi”—dari aturan tersebut adalah peserta didik. Jadi, peserta didik akan melaporkan temannya apabila melakukan kesalahan. Pelapor atas pelanggaran yang dilakukan oleh temannya akan mendapatkan hadiah dari sekolah.
Usaha yang dilakukan oleh sekolah tersebut memiliki hubungan dengan uraian di atas, yaitu untuk mendisplinkan peserta didiknya. Dengan kata lain, usaha tersebut bertujuan agar meningkatkan moralitas para peserta didiknya. Memang, merujuk pada uraian di atas, pendidikan yang mentransformasikan moral kepada peserta didik sangat dibutuhkan dalam dunia pendidikan di Indonesia. Namun, apakah hal tersebut sepatutnya dilakukan?
Mari kita ambil salah satu kasus yang paling ngetren, yaitu perkelahian, dalam konteks kasus ini adalah perkelahian antara adik dan kakak kelas. Aturan yang diterapkan sekolah tersebut merupakan bentuk dari hukuman represif. Patut kita cermati bahwa sekolah tersebut tidak lagi menitikberatkan pada usaha preventif. Menurut Kepala Sekolah SDN Margadadi IV, hal tersebut dikarenakan gagalnya usaha yang telah dilakukan oleh sekolah dalam menanggulangi penyimpangan peserta didiknya. Namun, apakah usaha itu? Sayangnya, kita tidak menemukan jawabannya dalam artikel tersebut. Mari kita sedikit berimajinasi terkait usaha yang telah dilakukan sekolah tersebut sebelumnya: mengapa usaha tersebut gagal? Argumen yang segera muncul adalah kurangnya pemahaman yang mendalam oleh sekolah mengenai alasan peserta didik melanggar peraturan. Hal tersebut tentunya menyebabkan penanganan yang salah sehingga “usaha sebelumnya” menurut Kepala Sekolah tersebut gagal. Seyogyanya, usaha preventif dalam menanggulangi penyimpangan terlebih dahulu dilakukan daripada usaha represif. Selain itu, usaha preventif mampu memahami akar permasalahan konflik sehingga mampu menangguangi konflik secara lebih baik (Ridwan, 2009, 103). Usaha preventif yang dimaksud dapat berupa pendidikan yang terkait dengan konflik.
Interaksi antar-tingkatan juga turut menjadi penyebab dari konflik yang terjadi di sekolah tersebut. Saya ingat betul apa yang diajarkan oleh dosen saya yang memiliki pemahaman komprehensif dalam bidang konflik, Novri Susan. Menurutnya, konflik dapat diredam melalui cara yang sederhana, yaitu peningkatan intensitas interaksi. Berdasarkan pengalaman saya menjalani pendidikan di tingkat SD hingga SMA, interaksi yang terjadi antar-tingkatan (mari kita ambil contoh antara kelas X dan kelas XII SMA) sangat minim. Interaksi antar angkatan hanya terjadi secara informal, seperti saat istirahat atau sepulang sekolah. Interaksi antar-tingkatan yang diakomodir oleh sekolah hanya terjadi setahun sekali, yaitu ketika lomba memperingati hari kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus. Tidak ada lagi media interaksi antar-tingkatan yang secara formal diadakan oleh sekolah selepas itu. Oleh karena itu, secara tidak langsung tercipta jarak antar-tingkatan dalam hal interaksi. Dengan demikian, usaha sekolah untuk menyediakan media interaksi antar-tingkatan niscaya mampu meredam cikal-bakal konflik.
Permasalahan selanjutnya adalah pemberlakuan peraturan bahwa siswa merupakan “polisi” dari aturan yang diterapkan oleh sekolah tersebut. Selanjutnya, siswa yang melaporkan temannya ke pihak sekolah apabila melanggar peraturan akan diberi hadiah oleh pihak sekolah. Peraturan tersebut tentunya bertentangan dengan apa yang ingin diciptakan dari berlakunya peraturan di SDN Margadadi IV Kabupaten Indramayu, yaitu meminimalisir perkelahian antar-muridnya. Intensitas konflik akan meningkat apabila pihak yang dilaporkan oleh siswa kepada sekolah tidak terima dengan pelaporan tersebut. Hal tersebut makin diperparah apabila tingkat interaksi di antara mereka sangat rendah. Selain itu, tidak adanya pemetaan konflik yang komprehensif akan menyebabkan kebutaan terhadap penyebab konflik sehingga konflik yang ada tidak dapat diselesaikan dengan baik, atau hanya sekadar “gencatan senjata”. Oleh karena itu, konflik mudah kembali ke permukaan atau dengan kata lain mudah terpicu.
Terkait dengan efektifitas peraturan tersebut, mari kita asumsikan bahwa masyarakat kabupaten Indramayu merupakan masyarakat gemeinschaft. Menurut Huda dan Wibowo (2013, 135), masyarakat gemeinschaft digambarkan sebagai kehidupan bersama yang intim, pribadi, dan eksklusif serta suatu keterikatan yang dibawa sejak lahir. Ciri pokok yang membedakan sebuah gemeinschaft (community) dengan lainnya adalah intimate (hubungan mesra), private (bersifat pribadi), exclusive (hubungan berlaku untuk anggota saja, bukan untuk di luar anggota), adanya common will (kehendak bersama), consensus (kesepakatan), serta adanya natural law (kaidah alami) yang dibuat para anggotanya (Suharto, 331). Dengan demikian, masyarakat gemeinschaft merupakan masyarakat yang menekankan kebersamaan di antara anggotanya. Peserta didik yang akan menjadi “polisi” dalam aturan sekolah tersebut tentunya berbenturan dengan tipologi masyarakat Indramayu. Oleh karena itu, dengan meminjam istilah aliran positivisme, dapat diramalkan bahwa peraturan tersebut akan menemui banyak kendala sehingga peraturan tersebut tidak dapat berjalan dengan baik. Hal tersebut dikarenakan peserta didik akan lebih memilih kesejahteraan anggotanya (sesama peserta didik) daripada kesejahteraan dirinya sendiri.
Kita akan memandang bahwa peraturan yang diterapkan oleh sekolah tersebut memiliki nuansa positif, ketika kita mampu mem-bracketing moral yang berlaku dalam masyarakat. Usaha yang dilakukan sekolah tersebut saya nilai memiliki sisi positif, yaitu mencerminkan perlunya kontrol yang kuat dalam sekolah, atau yang ingin saya tarik lebih jauh lagi adalah refleksi pentingnya peningkatan kontrol dalam masyarakat. Tentunya, hal tersebut harus menempuh usaha yang tidak mudah atau tidak sekonyol apa yang dilakukan oleh sekolah di atas. Usaha yang harus dilalui adalah mendidik masyarakat luas secara rasional. Oleh karena itu, pendidikan sebagai kapital budaya dalam bahasa Damsar (2012, 201-202) sebaiknya lebih menitikberatkan pada pemberian pengetahuan komprehensif mengenai pentingnya kontrol di masyarakat secara kontinyu ketimbang sekadar memberikan informasi sempit yang multi-tafsir, seperti yang tercermin dari pemberlakuan murid sebagai “polisi” atas aturan sekolah.
Kesimpulannya adalah, kebijakan yang diambil oleh SDN Margadadi IV Kabupaten Indramayu kurang tepat. Apakah karena faktor guru, sebagaimana Darmaningtyas (2008, 197) menyatakan bahwa rendahnya profesionalitas guru menyebabkan rendahnya mutu pendidikan di Indonesia? Selain itu, sekolah tersebut mengambil kebijakan yang hanya mementingkan tujuan jangka pendek, bukan tujuan jangka panjang yang tercermin melalui penerapan hukum represif ketimbang berusaha di ranah preventif. Sesungguhnya, usaha preventif turut mengembangkan sumber daya manusia di Indonesia dengan mengedepankan pemberian pengetahuan.
Daftar Pustaka
Damsar. (2012) Pengantar Sosiologi Pendidikan. Jakarta: Kencana.
Martono, Nanang. (2010) Pendidikan Bukan Tanpa Masalah: Mengungkap Problematika Pendidikan dari Perspektif Sosiologi. Yogyakarta: Penerbit Gava Media.
Huda, Khoirul. dan Wibowo, Anjar Mukti. (2013) Interaksi Sosial Suku Samin dengan Masyarakat Sekitar (Studi di Dusun Jepang Desa Margomulyo Kecamatan Margomulyo Kabupaten Bojonegoro Tahun 1990-2012). Jurnal Agastya, vol. 3, no. 1, halaman 129-148. [online] Diakses dari http://ikippgrimadiun.ac.id/ejournal/sites/default/files/INTERAKSI%20SOSIAL%20SUKU%20SAMIN.pdf [Diakses pada 19 Oktober 2014].
Lie, Anita., Sayoga, J. C. Tukiman Taruna., Parera, Frans., Joesoef, Daoed., Suparno, S. J. Paul., Tilaar, H. A. R., Buchori, Mochtar., Marianti, Franscesco., Sularto., Darmaningtyas., Supratiknya., dan Widiyanto, Priyo. (2008) Pendidikan Nasional dalam Reformasi Politik dan Kemasyarakatan. Yogyakarta: Penerbit Universitas Sanata Dharma.
Republika Online (2014) Sekolah Ini Terapkan Denda Uang kepada Siswa yang Langgar Aturan. [online] Jakarta: Republika Online. Diakses dari http://www.republika.co.id/berita/pendidikan/eduaction/14/10/19/ndnjuk-sekolah-ini-terapkan-denda-uang-kepada-siswa-yang-langgar-aturan [Diakses pada 19 Oktober 2014].
Ridwan, Aulia. (2009) Sistem Prevensi School Violence di Madura Berbasis Galtung Conflict Triangle. Islamica: Jurnal Studi Keislaman, vol. 3, no. 1, halaman 101-108. [online] Diakses dari http://islamica.uinsby.ac.id/index.php/islamica/article/download/54/50 [Diakses pada 19 Oktober 2014].
Suharto, Toto. (2005) Konsep Dasar Pendidikan Berbasis Masyarakat. Jurnal Cakrawala Pendidikan, no. 3, halaman 323-346. [online] Diakses dari http://journal.uny.ac.id/index.php/cp/article/download/376/pdf [Diakses pada 19 Oktober 2014].
***
0 Comment:
Post a Comment