Tulisan ini merupakan tulisan saya yang, sepanjang saya ingat, merupakan awal tulisan saya. Tulisan ini pernah dimuat di majalah Subversif, yaitu majalah entah-berapa-bulanan Sosiologi Universitas Airlangga, tempat saya mendapatkan kehidupan.
Tulisan ini terlihat berapi-api dan bernuansa "mendakik". Ya, sebagai pemuda yang ingin menjadi yang terbaik di antara lainnya, saya mempelajari diksi yang jarang diketahui orang lain. Namun, kebiasaan ini sentak berubah saat saya menjadi anak didik skripsi salah seorang dosen yang sangat saya hormati hingga sekarang. Saat itu, saya menulis proposal skripsi; beliau menjadi dosen pembimbing saya. Tentunya, sebagai pembimbing, beliau memeriksa tulisan saya. Setelah memeriksanya, kurang-lebih satu minggu, beliau menyatakan–kira-kira–"tulis dengan bahasa yang biasa saja, yang mudah dimengerti orang lain karena tujuan menulis adalah menyampaikan satu/lebih ide kepada orang lain. Bagaimana idemu dapat dipahami orang lain apabila bahasamu saja tidak dimengerti orang lain?"
Enjoy!
15.02.2013
Media merupakan instrumen warta untuk memberikan warta kepada khalayak. Khalayak tentunya tidak terlokalisir kepada satu golongan saja, namun khalayak ini bersifat generatif. Mulai dari muda, tua, pekerja lapangan, pekerja kantor, dan sebagainya. Oleh karenanya, media merupakan suatu ihwal yang memiliki kekuatan untuk dapat mendifusi kepada khalayak secara rata.
Dalam konteks ini, media yang disebutkan bukan saja merujuk kepada salah satu media. Namun, media yg disebutkan juga mencakup kepada media cetak maupun media elektronik, yang tentunya dari masing-masing yang disebutkan memiliki variannya sendiri. Media cetak dengan variannya seperti poster, koran, majalah, dan sebagainya. Sedangkan yang disebutkan terakhir, variannya adalah televisi, internet, radio dan (juga) sebagainya.
Sebagaimana telah diuraikan di atas, media memiliki efektifitas yang tandas dalam menyalurkan informasi kepada khalayak. Ada slogan yang senantiasa hidup di lingkungan kita. Slogan tersebut kiranya menyatakan bahwasanya barangsiapa (subyek) yang tidak membaca (dalam artian ‘mengikuti’) berita aktual, ia akan ketinggalan berita. Generalisasi logis daripada slogan ini adalah adanya kompulsasi untuk ‘mengikuti’ berita teraktual. Hal kedua darinya adalah, jikalau ‘subyek’ tidak mengikuti berita, ‘subyek’ tersebut akan kolot, kuper, dan sebagainya sebagaimana pengertiannya berkutat pada ‘ketertinggalan’.
Slogan di atas sebetulnya merupakan hal yang galib, yang barangkali tidak menjadi perkataan yang mengasingkan di telinga umum. Namun hal ini merupakan hal yang evokatif untuk dikritisi. Selain menelaah mengenai slogan, hal evokatif lainnya yang akan dikritisi adalah masifitas peran media dalam penyampaian ‘berita’ kepada khalayak.
Perlu rasanya untuk terlebih dahulu mengkritisi mengenai slogan tersebut. Prioritas terhadap pengkritisian slogan dikarenakan slogan inilah yang kiranya memiliki implikasi yang signifikan terhadap antusiasme khalayak terhadap media. Darinya, akan secara spontan dapat mengkritisi babak kedua setelahnya, yaitu media sebagai instrument dalam penyampaian ‘berita’ terhadap khalayak.
Dalam pengkritisian ini, akan menggunakan perpektif dari Paulo Freire yang dituliskannya dalam bukunya yang berjudul Pendidikan Kaum Tertindas. Buku ini mengulas tentang pembelaan serta teori Freire terhadap kontradiksi antara kaum penindas dengan tertindas. Salah satu cara melanggengkan kontradiksi yaitu melalui slogan-slogan dari kaum penindas. Freire menolak adanya slogan yang berdimensi nir-dialogis (dalam pengertian ‘anti’ yang bersinonim ‘tidak mungkin’). Slogan yang menolak kehadiran dialog, menurutnya mereduksi manusia menjadi ‘benda’.
Masyarakat menjadi terbiasa mereseptif slogan-slogan tersebut yang menurut Freire dikarenakan pola pendidikan gaya bank. Pendidikan pola seperti ini menjadikan guru sebagai penabung terhadap muridnya, dimana kaya akan nuansa pasif. Barangsiapa yang dapat ‘menabung’ sebanyak mungkin, akan menjadi indikasi kesuksesannya.
Kembali kepada konteks, slogan yang diutarakan sebagaimana telah dicoretkan di atas, direseptifasi oleh masyarakat secara mentah-mentah; tanpa adanya penyaringan terhadapnya. Oleh karenanya dapat dikritisi bahwasanya slogan tersebut memiliki andil dalam usaha ‘pelestarian penindasan’. Tidak dipungkiri bahwasanya media memiliki kompetensi dalam pendidikan. Namun, ketika slogan tersebut didapati secara ‘mentah-mentah’ tanpa adanya penyaringan terhadap berita yang terklasifikasi ‘sehat’, maka usaha pelanggengan akan berjalan mulus.
Kritisasi babak kedua yaitu massifitas media dalam penyaluran berita. Dalam pandangan oleh Foucault, kehidupan sosial kaya akan yang disebutnya sebagai ‘diskursus’. Diskursus yang dimaksudkan adalaha adanya ‘ide’ (baik secara verbal maupun naskah) tersampaikan yang mampu membentuk ruang opini masyarakat. Diskursus tersebut akan menentukan pola pikir dari suatu masyarakat yang terfluensi oleh diskursus.
Contohnya dalam hal ini adalah opini kita tentang tato. Jikalau kita mendengar maupun melihat tato, dalam pikiran kita akan memproyeksikan subyek yang negatif; pemabuk, perokok, perampok, dan sebagainya.
Foucault tidak bermaksud membangun dikotomi antara obyek dengan diskursus. Namun menurutnya, obyek yang murni akan ditemui bilamana diskursus tersebut dapat dihilangkan. Obyek tentulah murni obyek, bilamana diskursus yang membelenggunya dapat disingkirkan.
Jika dibentangkan sling antara teori dari Freire serta Foucault, akan dapat dipahami bagaimana diskrsus yang dibentuk media dapat melanggengkan penindasan. Slogan yang terlahir untuk dipersiapkan kepada khalayak mengenai media, akan mengakomodir secara manipulatif masyarakat untuk terevokasi terhadap media. Dimana pada akhirnya, mengikuti berita dalam ‘media’ akan memusnahkan sifat ‘kolot dan sebagainya’. Hal ini memberikan ‘jalan tol’ bagi penindas dalam memanipulasi khalayak.
Dari slogan yang sudah terbentuk, kaum penindas akan mudah menginjeksi diskursus yang bernuansa ‘menindas’ untuk memberi profit kepada (tentunya) kaum penindas. Diskursus yang diangkat oleh media tentunya bersifat tersirat, yang dimana hal ini secara manipulative mempengaruhi khalayak. Berita-berita (dalam dimensi terparah) akan disortir oleh kaum penindas sebagai ‘setir’ bagi kaum tertindas. Oleh karenanya, akan menjadi mudah bagi kaum penindas untuk menjadikan kaum tertindas sebagai ‘robot’ nya.
Hal ini tentunya menjadi kontradiksi dengan idealism Freire mengenai humanisme. Humanisme sendiri mengandung arti yang beradab; memanusiakan manusia. Menjadikan manusia sebagai ‘subyek’ dalam melawan realitas. Bukannya, yang telah dikritisi, menjadi obyek dalam suatu pewartaan.
Kiranya, perlu adanya pemupukan sifat kritis serta skeptik dalam menghadapi suatu warta (yang tentunya mengandung diskursus). Adanya normalisasi terhadap komparasi serta perujukan kepada berita lain dengan tujuan untuk melakukan cek-silang terhadap suatu berita, menjadi suatu prioritas pengharapan. Hal ini tentunya menjadikan manusia menjadi ‘manusia’ bukan sebagai ‘benda’, yang niscaya mudah terfluensi serta tersetir oleh kaum penindas. Darinya, akan mudah laku diferensiasi terhadap warta yang mengandung ‘agitasi’ atau ‘kodifikasi’ (kodifikasi adalah terminologi yang digunakan Paulo Freire dalam bukunya Pendidikan Kaum Tertindas. Hal ini pada intinya adalah refleksi dari tindakan keseharian kaum tertindas, yang akan dapat membangun kadar kritis dalam dirinya).
***
0 Comment:
Post a Comment