Manuscript of thought

Melawan Tabu terkait Keluarga: Refleksi Meninggalnya “Putri” di Bali

6/24/2015 02:13:00 AM Posted by Unknown No comments
Dapat dikatakan, mayoritas masyarakat di Indonesia berduka atas meninggalnya seorang putri di pulau “Dewata”. Pihak yudikatif masih berusaha untuk mengungkap kasus tersebut hingga sekarang. Satu hal yang menarik perhatian saya dalam proses tersebut adalah nihilnya usaha masyarakat, khususnya dunia pendidikan tempat putri tersebut menimba ilmu, untuk mencegah kejadian memilukan itu. Sepanjang pengetahuan saya terkait kasus ini, sekolah tersebut belum melakukan tindakan konkret untuk menyelamatkan sang putri, walaupun pihak sekolah sudah mengetahui indikator keganjilan kehidupan sang putri. Di sisi lain, pemberitaan menyatakan bahwa sekolah sudah menyiapkan langkah untuk menyelamatkan sang putri. Sayangnya, hal tersebut hanya sebatas “persiapan” yang berakhir terlambat.


Peran Sekolah dalam Mencegah Kekerasan

Sebagaimana khalayak umum mengetahui, sekolah merupakan lokasi tahap lanjut setelah nuclear family ‘keluarga inti’ sebagai tempat anak bertumbuh serta berkembang. Dari sisi kuantitas, anak akan menghabiskan waktunya dengan durasi yang lama di sekolah, katakanlah, selama delapan jam. Dengan demikian, dalam konteks kasus ini, merupakan kewajaran apabila sekolah memiliki fungsi penting untuk melakukan pencegahan, sebagaimana adagium yang sudah dikenal dan saya kembali mengingatnya saat membaca salah satu e-paper milik Indonesia, yaitu: lebih baik mencegah daripada mengobati. 

Secara konstitusional, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2014 mengatur beberapa elemen yang memiliki tanggung-jawab dalam melaksanakan perlindungan anak . Secara umum, negara serta masyarakat bertanggung-jawab dalam melaksanakan perlindungan anak , sebagaimana dinyatakan dalam pasal 23 ayat 1:

(1) Negara, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah  menjamin perlindungan, pemeliharaan, dan kesejahteraan Anak dengan memperhatikan hak dan kewajiban Orang Tua, Wali, atau orang lain yang secara hukum bertanggung jawab terhadap Anak.

Tanggung-jawab masyarakat dalam melindungi anak dari kekerasan  disebutkan dalam pasal 25 ayat 1, yaitu:

(1) Masyarakat berperan serta dalam Perlindungan Anak, baik secara perseorangan maupun kelompok.
(2) Peran Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang perseorangan, lembaga perlindungan anak, lembaga kesejahteraan sosial, organisasi kemasyarakatan, lembaga pendidikan, media massa, dan dunia usaha.
(3) Peran Masyarakat dalam penyelenggaraan Perlindungan Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara:
a. Memberikan informasi melalui sosialisasi dan edukasi mengenaik Hak Anak dan peraturan perundang-undangan tentang Anak;
b. Memberikan masukan dalam perumusan kebijakan yang terkait Perlindungan Anak;
c. Melaporkan kepada pihak berwenang jika terjadi pelanggaran Hak Anak;
d. Berperan aktif dalam proses rehabilitasi dan reintegrasi sosial bagi anak;
e. Melakukan pemantauan, pengawasan dan ikut bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan Perlindungan Anak;
f. Menyediakan sarana dan prasarana serta menciptakan suasana kondusif untuk tumbuh kembang Anak;
g. Berperan aktif dengan menghilangkan pelabelan negatif terhadap Anak korban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59; dan
h. Memberikan ruang kepada Anak untuk dapat berpartisipasi dan menyampaikan pendapat.
(4) Peran organisasi kemasyarakatan dan lembaga pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan cara mengambil langkah yang diperlukan sesuai tugas, fungsi, dan kewenangan masing-masing untuk membantu penyelenggaraan Perlindungan Anak.

Dalam hal pendanaan, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2014 telah menjamin bahwa pemerintah serta pemerintah daerah harus membantu, sebagaimana pasal 71E ayat 1 dan 2 menyatakan:

(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab menyediakan dana penyelenggaraan Perlindungan Anak.
(2) Pendanaan penyelenggaraan Perlindungan Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersumber dari:
a. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
b. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah; dan
c. Sumber dana lain yang sah dan tidak mengikat.

Bertumpu pada Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2014 yang telah diuraikan di atas, sesungguhnya konstitusi telah mempersiapkan sistem untuk melindungi anak, khususnya dari kekerasan, baik dengan mengoptimalkan subsistem (pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat, termasuk lembaga pendidikan) maupun dari segi pendanaan. Namun, permasalahan perlindungan anak tidak hanya bertumpu dari aspek hukum yang positivistik saja—meniadakan kasus secara khusus/melihat fenomena secara umum, tetapi juga harus menimbang aspek sosial-budaya.

Dalam hal aspek hukum terkait dengan lembaga pendidikan, saya kembali mengingat saat saya bersekolah dahulu. Saya mencoba menggali kebijakan sekolah seperti apa yang berkesinambungan dengan usaha untuk melindungi anak dari kekerasan, khususnya intervensi terhadap permasalahan keluarga. Sejauh saya mengingat, rasanya tidak ada kepanjangan tangan dari Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2014 sebagai usaha untuk melindungi anak dari kekerasan. Apakah saya boleh menarik kesimpulan bahwa penyusunan kebijakan hingga menjadi aksi nyata di tingkat yang sangat mendekati anak malah tidak ada?

Keluarga sebagai Sub-Sistem Masyarakat

Mungkin, apakah kebijakan tersebut ada, tetapi terhambat oleh aspek sosial-budaya? Kita sudah sangat mengetahui bahwa terdapat rintangan secara sosial-budaya apabila memasuki ranah keluarga, sebagaimana anak merupakan bagian utama dari keluarga. Memasuki ranah keluarga orang lain, misalnya turut serta dalam mengambil keputusan keluarga tersebut dengan catatan dalam keadaan khusus (misal: konflik internal keluarga) terkait nasib anak, merupakan hal tabu bagi masyarakat kita. Kita akan dilabel sebagai “orang yang ingin turut serta/campur tangan” secara otomatis ketika ingin memberi saran kepada keluarga tersebut.

Kita juga sering mendapati anak yang tidak diikutsertakan dalam pengambilan kebijakan dalam skala terkecil, yaitu dalam keluarga. Secara apriori, pengambilan kebijakan atau peraturan dalam keluarga bertumpu pada orang tua. Anak tidak diberi porsi berlebih kecuali hanya diam mendengarkan kebijakan atau keputusan yang akan segera dilaksanakan harus dipatuhi.

Kembali membaca Undang-Undang di atas, sesungguhnya konstitusi telah berusaha untuk memecah “pembatas” antara keluarga dan masyarakat. Kentalnya “ketabuan” untuk turut-serta dalam membantu keluarga selain keluarga kita sendiri menjadi pemisah yang sulit untuk dibuka. Negara menyadari bahwa keluarga dalam perspektif sistem merupakan sub-sistem dari sistem kemasyarakatan secara luas. Keluarga merupakan salah satu bagian dari masyarakat agar kegiatan kemasyarakatan dapat berjalan secara optimal. Contohnya: masyarakat memperlukan ketertiban sosial agar perekonomian dapat berjalan. Namun, apabila beberapa anggota masyarakat tidak mampu menyesuaikan diri, dengan kata lain adalah menciptakan kerusuhan, maka tujuan tersebut tidak dapat berjalan dengan baik. Penyesuaian individu terhadap ketertiban sosial dimulai dari sosialisasi keluarga. Oleh karena itu, keluarga memiliki peran penting di dalam sistem masyarakat. Dengan demikian, ditilik dari perspektif tersebut, keluarga harus menyesuaikan diri dengan norma yang berlaku di masyarakat juga menjalankan fungsinya sebagaimana yang diharapkan oleh sistem tersebut.

Keluarga, dengan demikian, bukan unit yang terpisah total dari masyarakat. Anggapan bahwa keluarga merupakan super-unit yang tidak dapat diintervensi oleh sub-sistem lainnya malah akan menyebabkan kegagalan sistem sosial masyarakat. Hal tersebut, secara intrinsik, menarik kesimpulan bahwa keluarga memerlukan campur tangan sub-sistem lainnya agar mampu menopang sistem sosial masyarakat. Namun, seyogyanya diingat dengan kembali membaca konstitusi di atas, yaitu: dengan memperhatikan hak dan kewajiban orang tua, sebagaimana menyatakan secara tidak langsung perlunya masyarakat menghargai sub-sistem keluarga. 

Bagaimana batasan atau indikator yang menyatakan kapan kita, sebagai masyarakat, perlu mengintervensi sub-sistem keluarga? Sejauh saya membaca konstitusi tersebut, saya belum menemukannya. Secara subyektif, saya rasa usaha sosialisasi sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2014 pasal 72 ayat 3 poin a perlu kita pertimbangkan secara serius untuk meminimalisir kekerasan terhadap anak. Selain itu, saya rasa, kita dapat mengintervensi keluarga yang sedang dalam kondisi melakukan kekerasan terhadap anak ketika salah satu dari anggota keluarga tersebut membuka diri dengan menyatakan membutuhkan pertolongan. 

Pertanyaannya: apakah sosialisasi merupakan senjata ampuh untuk meminimalisir kekerasan terhadap anak? Bagaimana sosialisasi yang ampuh? Apa usaha yang dapat dilakukan untuk menumbuhkan kewaspadaan pada masing-masing anggota keluarga, khususnya dalam kasus ini adalah anak?

Pendidikan untuk Berpikir

Saya sangat setuju bahwa pendidikan dan persekolahan merupakan dua hal yang berbeda. Menurut kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) , pendidikan yang memiliki kata dasar "didik" yang berarti: memelihara dan memberi latihan (ajaran, tuntunan, pimpinan) mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. Sementara itu, pendidikan diartikan oleh KBBI sebagai: proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan. Di sisi lain, persekolahan saya terjemahkan secara serampangan sebagai: proses mendapatkan ijazah/bentuk legitimasi lainnya dalam rangka mendukung karir dalam konteks materi/pekerjaan. 

Hal yang patut ditekankan adalah pendidikan menekankan pentingnya usaha agar manusia menjadi dewasa yang mampu berpikir secara kritis, bukannya hanya menuruti apa yang diajarkan yang kemudian menjadi pengetahuan yang bersifat absolut/serba benar. Hal tersebut setidaknya tersirat dalam aliran pedagogi/proses pendidikan secara kritis yang menyatakan bahwa: pedagogi kritis merupakan usaha pendidikan agar peserta didik selalu mempetanyakan juga mengkritisi kehidupan sosial sehingga mampu memiliki kesadaran kritis yang dibangun dari proses pendidikan tersebut (Hidayat, 2013, 7-8). Pola pendidikan tersebut dibangun dengan cara menghadirkan dialog antara guru dengan murid secara seimbang, bukannya guru yang selalu menjadi sentral dalam proses pendidikan yang mengisyaratkan pendidikan satu arah (guru berbicara, murid mendengarkan). 

Pola pendidikan satu arah digunakan agar murid memahami pelajaran yang berguna saat mereka ujian sehingga murid dapat lolos dan mendapatkan legitimasi atas usahanya (ijazah). Di sisi lain, pedagogi kritis tidak melihat hubungan antara pendidikan dan ijazah, tetapi melihat pendidikan sebagai usaha untuk "memanusiakan". Walaupun pedagogi kritis sungguh tampil memikat, usaha untuk membuatnya menjadi nyata tidaklah mudah, mengingat sistem pendidikan sudah terlanjur terinklusi dengan pekerjaan. Namun, menurut saya, setidaknya usaha tersebut dapat dilakukan dengan memasukkan proses dialogis dalam pembelajaran di sekolah sehingga murid terbiasa untuk berpikir kritis, bukan hanya "bermain aman", yaitu: sekadar mengahapal agar lulus ujian. Dengan demikian, murid mampu berpikir dan "termanusiakan". 

Kemampuan murid, atau dalam konteks ini ialah anak, untuk berpikir kritis akan mempermudah mereka menyingkap informasi terkait sosialisasi perlindungan anak sebagaimana diamanatkan di dalam konstitusi. Mereka mampu berpikir secara lebih luas terkait posisinya, baik di dalam keluarga maupun masyarakat, sehingga mereka mampu merasakan ketika kekerasan hadir di dalam lingkungannya. Dengan demikian, mereka tidak hanya tinggal diam saja ketika menjadi korban kekerasan sebagai hasil dari pendidikan mereka yang melatihnya agar mampu berpikir kritis serta penerimaan informasi dari sosialisasi terkait perlindungan anak.



i. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2014 pasal 1 ayat 1, anak adalah: Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih berada dalam kandungan.

ii. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2014 pasal 1 ayat 2, perlindungan anak dideskripsikan sebagai: Perlindungan Anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi Anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, dan berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

iii. Penekanan terhadap Pemerintah Daerah sebagaimana dijelaskan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2014 pasal 1 ayat 18: Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati, dan walikota serta perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara daerah. Perangkat daerah dapat diterjemahkan sebagai Satuan Kerja Perangkat Daerah yang tentunya meliputi Dinas Pendidikan.

iv. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2014 pasal 1 ayat 15a, kekerasan adalah: Kekerasan adalah setiap perbuatan pada Anak yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikis, seksual, dan/atau penelantaran, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum.

v. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2014 pasal 1 ayat 13 menyatakan bahwa masyarakat adalah: Masyarakat adalah perseorangan, Keluarga, kelompok, dan organisasi sosial dan/atau organisasi kemasyarakatan.


0 Comment: