Sudah satu minggu lebih insiden terbakarnya tempat peribadahan umat muslim (entah mana yang benar, masjid atau musholla, tetapi intinya adalah tempat peribadahan sebagai simbol umat muslim) di Tolikara. Berbagai media memberitakan dengan versi yang beragam: ada yang menyatakan bahwa tempat peribadahan umat muslim juga turut dibakar bersama dengan kios yang ada di sekitarnya; ada juga yang memberitakan bahwa tempat peribadahan tidak dibakar, tetapi terbakar karena rembetan api dari pembakaran kios; masing-masing disertai dengan penguatan bukti berupa pernyataan warga/tokoh masyarakat setempat.
Berbagai media-pun memberitakan kronologi kejadian dengan berbagai versi yang disertai dengan pembenarannya masing-masing: pembakaran yang dilakukan terjadi karena buntut dari jamaat GIDI (Gereja Injil di Indonesia) yang melarang umat muslim saat akan melakukan ibadah pada saat itu; ada juga yang menyatakan bahwa pembakaran terjadi karena polisi terlebih dahulu melakukan penembakan kepada jamaat GIDI saat akan memberikan larangan kepada umat muslim untuk beribadah secara dialogis sehingga jamaat GIDI menjadi emosi dan meluapkannya dengan cara melakukan pembakaran. Banyaknya versi yang beredar menyebabkan isu pembakaran menjadi kabur: apa yang sesungguhnya terjadi?
Mungkin, apabila memang penyebabnya adalah tembakan dari polisi, mengapa kompensasi yang dilakukan adalah dengan cara membakar kios di sekitar tempat kejadian? Memang benar beberapa argumentasi yang menyatakan bahwa penembakan semacam itu sering terjadi di Indonesia yang salah satu dampaknya adalah menimbulkan kesadaran masyarakat bahwa konflik lebih mudah diselesaikan dengan cara kekerasan. Namun, kembali lagi, saya masih bertanya-tanya mengapa kompensasi yang dilakukan adalah dengan cara membakar kios, bukannya melakukan serangan balik. Apakah bagian dari berita itu telah dihapus? Entahlah, saya rasa di titik itulah missing-link dari argumentasi tersebut.
Bagaimana bila pembakaran dilakukan murni karena dampak dari usaha melakukan pencegahan umat muslim untuk beribadah? Entah mengapa, saya lebih percaya hal ini. Perlu dicatat bahwa saya tidak membela satu umat pun. Saya percaya dengan versi ini karena saya mengetahui bahwa kaum minoritas seringkali menjadi korban penindasan oleh kaum mayoritas. Betul, inilah permasalahannya: mayoritas vs minoritas; pembagian kekuasaan yang timpang dengan disertai buruknya usaha mediasi di antara mereka.
Klaim Kebenaran: Pertarungan Utama
Saya percaya bahwa konflik selalu berhubungan dengan perebutan. Konflik tidak hadir secara hampa/tanpa alasan/irasional1. Konflik merupakan salah satu jalan yang ditempuh untuk mendapatkan sumber daya yang selalu terbatas, baik materiil (misalnya: uang) maupun non-materiil (misal: harga diri) secara rasional. Pernyataan sosiolog asal Prancis, Pierre Bourdieu, bahwa pertarungan utama di dunia adalah pertarungan untuk memberikan versi yang sahih (baik-buruk, benar-salah) agar diterima oleh masyarakat luas makin memperkuat argumentasi bahwa konflik selalu berdimensi rasional.
Sumber daya yang dipertaruhkan dalam konflik ini, menurut saya, adalah keinginan kaum mayoritas terhadap kaum minoritas agar peraturan yang dikeluarkannya dipatuhi oleh kaum minoritas. Menurut Rita (2015a; 2015b), GIDI merupakan agama asli penduduk Tolikara, sementara penduduk pendatang umumnya beragama muslim. Tolikara sebagai bagian dari Papua tidak lepas menjadi lokasi yang dituju masyarakat lain untuk mencari nafkah, singkatnya sebagai lokasi tujuan perpindahan penduduk. Mucipto (2015) menyatakan bahwa penduduk Papua menjadi penduduk “kelas” dua karena banyaknya pendatang yang menjadi penguasa di tanahnya.
Kita sudah paham, dan saya juga mengalaminya sendiri, bahwa kaum mayoritas maupun penduduk pribumi memiliki privilese terhadap wilayahnya. Konflik seperti ini sering terjadi di daerah lain. Dalam perspektif sistem sosial, upaya mempertahankan daerahnya memiliki relevansi dengan usaha untuk menjaga sistem sosial di daerah tersebut. Masing-masing sistem sosial memiliki budaya yang mencakup norma serta nilai untuk mempertahankan keharmonisan sosial di dalam anggotanya. Pendatang/kaum minoritas yang memiliki perbedaan norma dan nilai yang dibawa dari budaya lain dianggap sebagai pengancam keharmonisan sistem sosial. Oleh karena itu, untuk menjaga keharmonisan sosial berdasarkan versi yang dimiliki kaum pribumi, dalam konflik ini, mereka memilih jalan dengan menggunakan konflik.
Kehadiran konflik dalam usaha untuk mempertahankan budaya warga lokal tidak hanya bersifat represif/pasca-perubahan budaya, tetapi juga preventif yang seringkali bersifat ancaman secara verbal. Konflik semacam ini seringkali disebut dengan konflik identitas yang sifatnya laten dan umum (ada di berbagai tempat) akibat buruknya pendidikan pengelolaan konflik oleh negara. Konflik laten mudah untuk timbul ke permukaan (baik memanifestasikannya dengan cara konflik kekerasan maupun nir-kekerasan) apabila “dipantik”.
Hadirnya Perda (Peraturan Daerah) yang menyatakan bahwa hanya GIDI yang berhak mendirikan bangunan peribadatan yang sekaligus menjadi landasan beredarnya surat himbauan agar umat muslim tidak melakukan peribadaham (Primandari, 2015) makin memperkeruh konflik ini. Secara tidak langsung, Perda yang belum diverifikasi ke Kemendagri (Kementerian Dalam Negeri) tersebut makin mengukuhkan posisi GIDI sebagai pihak superior. Selain itu, Perda tersebut secara tidak langsung telah mengesahkan adanya konflik antara GIDI dan kelembagaan agama lainnya.
Saya pernah mendiskusikan keterkaitan Perda yang mengukuhkan posisi GIDI dengan konflik ini bersama teman saya. Ia menyatakan bahwa kontrak sosial yang menyatakan superioritas pihak tertentu secara tidak tertulis yang biasanya hanya dinyatakan oleh tokoh masyarakat lokal dan dipatuhi masyarakat setempat sudah lazim di tempat lain. Kontrak sosial tidak tertulis tersebut menyebabkan superioritas kelompok tertentu, apalagi kontrak sosial yang tertulis dan dilegitimasi semacam Perda. Tentunya, hal tersebut akan menyusahkan eksistensi kelompok minoritas karena kontrak sosial yang tertulis akan mempengaruhi kesadaran masyarakat secara kontinyu.
Primordialisme: Tantangan Nyata Negara Multi-Identitas
Indonesia memiliki beragam suku, ras, agama, dan antargolongan; mereka seringkali “bersentuhan” secara sosial. Keberagaman identitas tersebut memang tidak buruk karena masing-masing dari mereka memiliki budaya untuk menjaga keharmonisan kelompok sosialnya. Dengan demikian, kehidupan sosial akan tertata secara rapi. Namun, tidak dipungkiri bahwa keberagaman tersebut yang saling “bersentuhan” secara sosial di dunia sosial memeliki ekses.
Ikatan yang terlaku kuat di dalam kelompok menyebabkan kelompok tersebut menegasikan klaim kebenaran kelompok lain. Kondisi primordialisme tersebut menyebabkan masing-masing kelompok sosial memandang bahwa pengetahuan sosial yang dimilikinya merupakan postulat yang paling benar juga baik. Hadirnya ajaran pengetahuan sosial baru dari kelompok lain dianggap mengancam keberadaan pengetahuan sosial kelompoknya sehingga mengancam keharmonisan sosial di dalam kelompoknya.
Pendidikan multikulturalisme dipandang mampu meredam hal tersebut; bukan berarti melumpuhkan masing-masing budaya, tetapi saling: menghargai, menghormati, pun mentoleransi. Sayangnya, pendidikan multikulturalisme saat ini terbatas pada mengahafal saja, tidak sampai pada tataran aplikatif. Pendidikan multikulturalisme hanya dipandang sebagai alat untuk mendapatkan nilai baik, bukan sebagai jalan kehidupan siswa di negara multi-identitas ini. Oleh karena itu, tidak heran masih banyak terjadi minimnya toleransi antar individu di dunia sosial.
Negara sebagai pelindung masyarakat, sayangnya, tidak memberikan contoh pendidikan konflik yang baik. Kehadiran negara yang seharusnya menjadi mediator malah memilih menggunakan kekerasan untuk meredam konflik, sebagaimana seringkali kita ketahui dari berbagai media. Hal tersebut merupakan pola pendidikan pengelolaan konflik yang buruk bagi masyarakat kita. Kembali pada awal tulisan ini, tindakan negara tersebut mampu mempengaruhi pengetahuan sosial/”habitus” masyarakat bahwa penyelesaian konflik dengan kekerasan adalah jalan terbaik. Dengan demikian, masyarakat menjadi terbiasa menggunakan kekerasan untuk menyelesaikan konflik.
***
1. Lihat buku Susan, Novri. (2012) Negara Gagal Mengelola Konflik (Tata Kelola Konflik di Indonesia). Yogyakarta: KoPi, halaman 21-26. Beberapa ahli mengatakan konflik dibagi menjadi dua: rasional dan irasional; tetapi ada yang menyatakan bahwa konflik merupakan hal yang rasional. Menempatkan konflik sebagai tindakan irasional menyebabkan penyelesaian konflik bersifat: non-humanis, nir-dialogis, dan terutama, mengaburkan akar konflik berdasarkan postulat homo homini lupus sehingga konflik dipandang dangkal yang menyebabkan konflik tidak dapat/susah diselesaikan.
Daftar Pustaka
Mucipto, Iwan. (2015) Tolikara: Confront injustice against minorities at its roots. The Jakarta Post, 23 Juli 2015. [Online] Diakses dari: http://m.thejakartapost.com/news/2015/07/23/tolikara-confront-injustice-against-minorities-its-roots.html [Diakses pada 26 Juli 2015].
Primandari, Tika. (2015). Perda Larangan Bangun Rumah Ibadah Tolikara Sudah Disetujui. Tempo, 22 Juli 2015. [Online] Diakses dari: http://nasional.tempo.co/read/news/2015/07/22/078685626/perda-larangan-bangun-rumah-ibadah-tolikara-sudah-disetujui [Diakses pada 26 Juli 2015].
Rita, Maria. (2015a) Masjid Berdiri di Tolikara, Begini Kisahnya. Tempo, 23 Juli 2015. [Online] Diakses dari: http://m.tempo.co/read/news/2015/07/26/078686617/masjid-berdiri-di-tolikara-begini-kisahnya [Diakses pada 26 Juli 2015].
Rita, Maria. (2015b) Begini Kehidupan Warga Lokal dan Pendatang di Tolikara. Tempo, 26 Juli 2015. [Online] Diakses dari: http://nasional.tempo.co/read/news/2015/07/26/078686618/begini-kehidupan-warga-lokal-dan-pendatang-di-tolikara [Diakses pada 26 Juli 2015].
0 Comment:
Post a Comment