Mungkin, beberapa orang akan bertanya kepada saya, "untuk apa membuat blog? Apa fungsinya? Apa bagusnya? Apa dst. dll. dsb." saat saya mengintroduksi blog ini. Apa yang harus saya jawab?
Pertanyaan di atas merupakan pertanyaan mendasar yang juga berorbit di kepala saya saat memupuk niat untuk kembali bergelut dengan hal yang saya gemari. Beruntung, saya pernah melihat film berjudul Nightcrawler yang berkisah tentang seseorang yang tidak menempuh pendidikan, tetapi cermat. Kemampuan tersebut menyebabkan sang tokoh utama menjadi sukses. Tidak, saya tidak membahas resensi film di sini karena itu bukan minat saya. Namun, ada satu dialog dalam film tersebut yang selalu menginspirasi saya, yaitu:
"Selain menentukan tujuan, mengetahui alasan dalam menentukan tujuan adalah hal yang juga penting."
Menurut saya, makna dialog di atas adalah: tidak ada hal yang tidak bisa dirasionalkan kecuali beberapa hal yang memang di luar kemampuan manusia. Contohnya: kita bisa merasionalkan apa yang disebut sebagai reflek. Mungkin, Anda yang akrab dengan konsepsi habitus dari Pierre Bourdieu, sosiolog Prancis, memaknai "reflek" sebagai seperangkat mekanisme yang terbatinkan secara historis. Dengan kata lain, reflek adalah gerak yang tidak terjadi karena gerak alamiah dari manusia, tetapi merupakan kebiasaan yang tertanamkan oleh masing-masing individu secara historis di dalam lingkungannya. Namun, lingkungan dalam kalimat sebelumnya bukanlah faktor determinan; reflek bisa berubah dengan improvisasi dari individu, sebagaimana individu adalah subyek yang memiliki sifat kebebasan dan tidak terikat, atau dengan kata lain, memiliki inisiatif. Ah sudahlah, jangan terlalu banyak berteori, hehehe.
Beberapa waktu terakhir, saya mengalami masa yang secara romantistik saya sebut sebagai masa kelam: malas membaca, malas menulis, malas berpikir, dan parahnya malas segalanya. Akibatnya, saya merasa kehilangan kemampuan untuk menulis, dan parahnya, kehilangan kemampuan untuk menemukan diksi yang tepat, baik secara tertulis maupun verbal. Di sisi lain, saya sangat menyukai bidang yang sempat tersemat kata malas di kalimat sebelumnya: menulis, membaca, dan berpikir. Mari kita aplikasikan kutipan di atas paragraf ini: mengapa saya menyukai bidang tersebut?
Snob-kah, sebagaimana seorang sahabat saya, master Yogi, menyebutnya? Manifesto fraksi kelas-kah? Seperangkat medium untuk menaikkan peringkat kelas-kah?
Menurut saya, kegemaran saya dalam tiga bidang tersebut disebabkan keinginan saya untuk memahami bagaimana dunia sosial ini bergulir. Pengetahuan akan dunia sosial menyebabkan saya lebih mudah untuk "mengaksesnya": menemukan celah untuk menemukan kelemahannya kemudian memperbaikinya, atau mungkin, untuk "memanfaatkannya"; sebagaimana dunia sosial merupakan hal yang tidak akan lepas dari diri kita, kecuali kita memilih untuk hidup seorang diri di dalam gua, hehehe. Alasan tersebut menyebabkan saya memiliki rasa "puas" setelah saya mampu melaksanakannya, misalnya: menemukan hal baru di dalam buku, menganalisa tulisan penulis lain; atau hal-hal sepele lainnya, misalnya: meninjau kembali tulisan yang telah saya terbitkan; sebagaimana hal-hal tersebut tercermin dalam tulisan saya di halaman About:
Bagaimana bisa kepemilikan pengetahuan tersebut menyebabkan saya memiliki kemudahan dalam "mengakses" dunia sosial? Pengetahuan yang terus saya cari tersebut akan membuka mekanisme dan struktur dunia sosial berjalan, atau dengan kata lain, saya akan terus mencari seluk-beluk tentang dunia sosial. Kepemilikan akan pengetahuan secara lengkap akan memudahkan "pemetaan" dalam menjawab permasalahan. Contohnya: bagaimana Anda bisa menulis apabila Anda tidak mengetahui manfaat: pena, laptop, PC, buku, penghapus, dll. dst. dsb? Mudahnya, saya senang mengutip dan juga terinspirasi dari kalimat pengantar dalam buku yang diberikan oleh seorang sahabat saya yang berjudul Asal-Usul Kedaulatan: Telusur Psikogenealogis atas Hasrat Mikrofasis Bernegara oleh Hizkia Yosie Polimpung. Menurut buku tersebut, pengetahuan diperlukan agar menguasai bidang yang kita inginkan, sebagaimana buku tersebut menyatakannya secara simpel, tetapi mengena:
Beberapa waktu terakhir, saya mengalami masa yang secara romantistik saya sebut sebagai masa kelam: malas membaca, malas menulis, malas berpikir, dan parahnya malas segalanya. Akibatnya, saya merasa kehilangan kemampuan untuk menulis, dan parahnya, kehilangan kemampuan untuk menemukan diksi yang tepat, baik secara tertulis maupun verbal. Di sisi lain, saya sangat menyukai bidang yang sempat tersemat kata malas di kalimat sebelumnya: menulis, membaca, dan berpikir. Mari kita aplikasikan kutipan di atas paragraf ini: mengapa saya menyukai bidang tersebut?
Snob-kah, sebagaimana seorang sahabat saya, master Yogi, menyebutnya? Manifesto fraksi kelas-kah? Seperangkat medium untuk menaikkan peringkat kelas-kah?
Menurut saya, kegemaran saya dalam tiga bidang tersebut disebabkan keinginan saya untuk memahami bagaimana dunia sosial ini bergulir. Pengetahuan akan dunia sosial menyebabkan saya lebih mudah untuk "mengaksesnya": menemukan celah untuk menemukan kelemahannya kemudian memperbaikinya, atau mungkin, untuk "memanfaatkannya"; sebagaimana dunia sosial merupakan hal yang tidak akan lepas dari diri kita, kecuali kita memilih untuk hidup seorang diri di dalam gua, hehehe. Alasan tersebut menyebabkan saya memiliki rasa "puas" setelah saya mampu melaksanakannya, misalnya: menemukan hal baru di dalam buku, menganalisa tulisan penulis lain; atau hal-hal sepele lainnya, misalnya: meninjau kembali tulisan yang telah saya terbitkan; sebagaimana hal-hal tersebut tercermin dalam tulisan saya di halaman About:
"Situs ini merupakan usaha agar pikiran tidak mati, karena mengetahui adalah kepuasan tersendiri."
Bagaimana bisa kepemilikan pengetahuan tersebut menyebabkan saya memiliki kemudahan dalam "mengakses" dunia sosial? Pengetahuan yang terus saya cari tersebut akan membuka mekanisme dan struktur dunia sosial berjalan, atau dengan kata lain, saya akan terus mencari seluk-beluk tentang dunia sosial. Kepemilikan akan pengetahuan secara lengkap akan memudahkan "pemetaan" dalam menjawab permasalahan. Contohnya: bagaimana Anda bisa menulis apabila Anda tidak mengetahui manfaat: pena, laptop, PC, buku, penghapus, dll. dst. dsb? Mudahnya, saya senang mengutip dan juga terinspirasi dari kalimat pengantar dalam buku yang diberikan oleh seorang sahabat saya yang berjudul Asal-Usul Kedaulatan: Telusur Psikogenealogis atas Hasrat Mikrofasis Bernegara oleh Hizkia Yosie Polimpung. Menurut buku tersebut, pengetahuan diperlukan agar menguasai bidang yang kita inginkan, sebagaimana buku tersebut menyatakannya secara simpel, tetapi mengena:
"Sama seperti kita harus mempelajari fitur-fitur objektif ponsel kita untuk mengoptimalkan penggunaannya..."
Bagaimana bisa terjadi hubungan antara keinginan untuk mengakhiri kemalasan saya terhadap bidang di atas dengan kemunculan website yang lucu ini? Saya memperlakukan blog ini sebagai medium untuk kembali rujuk dengan tiga bidang tersebut. Saya dapat menulis apa yang saya suka berdasarkan kerangka berpikir saya yang selanjutnya, mungkin, akan direspon oleh orang lain. Respon tersebut menjadi "permasalahan" yang dapat menjadi bahan pemikiran saya. Di sisi lain, publikasi blog berinklusi dengan pembaca virtual yang menilai diri saya. Tentunya, pembaca tersebut memiliki variasi pengetahuan. Dengan demikian, saya akan terlihat bodoh apabila saya tidak dapat mengimbangi pengetahuan yang dimiliki oleh pembaca tersebut. Selain itu, saya tidak akan memiliki variasi tulisan yang menyebabkan saya menjadi stagnan sehingga pembaca menjadi bosan apabila saya tidak memperbaharui pengetahuan saya. Jadi, voila! Blog ini mendorong saya untuk kembali rujuk dengan kegiatan yang saya cintai secara tidak langsung. Semoga. Tidak, jangan semoga; HARUS!
Potongan dialog yang saya kutip di atas secara alakadarnya—tetapi masih mengandung inti dialog—mulai menemani pikiran saya sehari-hari. Saya pikir, mengetahui lebih dalam tentang—secara umum—berbagai hal merupakan usaha yang baik agar tidak terjebak dalam kategori "latah". Selain itu, kita juga bisa memahami segala seluk-beluk hal yang akan/sedang kita lakukan. Dengan demikian, kita bisa memutuskan/bertindak dengan resiko yang minimal. Oleh karena itu, kita bisa mengetahui bahwa "latah" merupakan perilaku yang kurang baik karena bertindak tanpa didasarkan pengetahuan yang cukup. Bagaimana Anda bisa melakukan hal dengan kualitas yang baik apabila Anda tidak memiliki pengetahuan yang cukup? Kecuali, Anda melakukan hal tersebut sebagai permulaan.
Aplikasi pertanyaan di atas pernyataan tidak hanya dapat dilakukan dalam bidang yang sangat serius, tetapi juga dapat diaplikasikan dalam keseharian kita, misalnya: mengapa kita ingin membeli ini-itu; mengapa kita melakukan ini-itu; apa gunanya? Mungkin, contoh terbaik saat ini agar memudahkan penyampaian konsep tulisan ini, dalam konteks yang sedang ngetren saat ini, adalah pacaran, falling in love. Jijik? Tidak, mungkin itu adalah sifat dasar manusia. Selain itu, mungkin, cinta adalah ekses dunia moderen; manusia semakin sibuk sendiri-sendiri sehingga ikatannya dengan lingkungan sosialnya semakin renggang. Di sisi lain, sifat dasar manusia selain hal tersebut adalah kebutuhan akan orang lain. Oleh karena itu, manusia akan mencari teman yang dapat mengisi kekosongan tersebut.
Hal yang menarik adalah, apakah Anda pernah bertanya kepada diri Anda sendiri mengapa Anda membutuhkan pasangan? Hehehe. Pertanyaan selanjutnya ketika Anda jatuh cinta dengan orang lain adalah, apakah Anda pernah berbicara dengan diri Anda sendiri mengapa Anda mencintai orang tersebut? Hehehe.
Mungkin, pertanyaan tersebut tidak berlaku saat kita memilih teman karena, menurut saya, jawaban umum yang seringkali muncul adalah kesamaan pikiran. Namun, apakah mencari/menjalin hubungan tidak berdasarkan kesamaan pikiran? Mungkin ya, mungkin tidak. Beberapa orang lebih tertarik secara fisik sebagaimana hal tersebut berlaku umum bagi kita. Selain itu, mungkin, Anda tidak pernah menanyakan pertanyaan di atas karena—sebagaimana slogan yang berlaku di masyarakat kita—mabuk cinta. Terlalu banyak cinta? Hehehe. Akhirnya, alasan dasar yang seharusnya menjadi fondasi untuk mewujudkannya ke dalam perilaku menjadi hal yang gaib: tidak dapat dimengerti; sebagaimana kita mengenalnya dewasa ini, alasan tersebut dibentengi oleh kata yang abstrak pula: hati. Ouch!
Dalam kasus ini, kita akan mengetahui dampak baik-buruk dari hubungan yang sedang/akan dijalin setelah kita menanyakan hal di atas. Selain itu, kita memiliki alasan mengapa kita membutuhkan pasangan secara imanen. Pertanyaan tersebut penting agar kita mengetahui beberapa hal, salah satu yang terpenting, seperti: apakah "orang kedua" mampu menyebabkan kita semakin maju, atau bahkan mengalami kemunduran. Kita akan memiliki hubungan dengan kualitas yang baik setelah menanyakan hal di atas karena kita mengetahui seluk-beluk hubungan yang sedang/akan kita jalin. Dengan demikian, kita bisa memilih tindakan yang tepat, bukan berdasarkan alasan abstrak sebagaimana disebutkan di atas, yaitu "hati" yang seringkali menjadi dasar argumentasi yang tidak bisa dirasionalkan.
Sesungguhnya, pertanyaan dasar tersebut dapat diterapkan di berbagai hal dengan uraian lain yang tentu lebih menarik. Contohnya:
apa tujuan dari tujuan Anda membaca tulisan ini hingga selesai?
***
0 Comment:
Post a Comment